Jumat, 16 Agustus 2013

Veryanto Sitohang: Dari Pluralisme Hingga LGBT


Beragam tudingan miring kerap ia terima. Dituduh provokator, penyebar berita bohong, tidak beragama, teroris, tidak bermoral hingga dikatakan penikmat pelacur. 

 Veryanto Sitohang mencoba mengingat kembali kejadian yang ia alami sekitar November 2011, saat  membuka akun facebook miliknya. Ia mendapati pesan dari Pendeta Elson Lingga, Pendeta Ressort Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) di Wilayah Kuta Karangan Kecamatan Simpang Kanan Kabupaten Aceh Singkil, bahwa gereja mereka terancam dibongkar.

Saat itu Very menyampaikan agar jemaat sabar dan turut prihatin dengan kondisi mereka. Selang enam bulan kemudian, tepatnya Mei 2012 Very kembali dapat  pesan dari Pendeta Elson menyatakan bahwa gereja mereka telah disegel. Ia pun terkejut dan segera meminta kontak Pendeta Elson, memastikan permasalahannya.

Very yang merupakan direktur Aliansi Sumut Bersatu (ASB), organisasi yang berotasi pada masalah-masalah pluralisme membicarakan hal ini pada anggotanya. Dua hari kemudian Very dan tiga rekannya di ASB sepakat berangkat menuju Singkil.

Sesampainya di sana, Very segera  melakukan pertemuan dengan majelis gereja yang terancam dibongkar. Dalam pertemuan itu, ASB dan majelis-majelis gereja merumuskan kronologis penyegelan dan strategi advokasi membatalkan rencana  Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil.

Very dan majelis gereja mengambil langkah dengan mengirim surat ke sejumlah tokoh agama, negarawan, aktivis, cendekiawan, dan lembaga negara terkait. Diharapkan  mereka berkenan memberi pandangan kepada pemerintah, khususnya Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan HAM, Gubernur Aceh, Bupati Singkil dan aparat Kepolisian untuk memberi perlindungan serta jaminan kebebasan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya.

Very menyebutkan, penyegelan gereja-gereja di Kabupaten Aceh Singkil menambah daftar panjang kasus intoleransi di Indonesia. ”Realitas ini membuat hak masyarakat atas jaminan kebebasan beribadah sesuai agama dan keyakinan tidak terpenuhi bahkan dirampas oleh pengambil kebijakan,” ujarnya.

Kasus penyegelan di Aceh Singkil hanya sebagian kecil dari kasus yang ia tangani bersama ASB. Sebenarnya, ASB dibentuk untuk melihat ancaman keberagaman yang menguat di tengah masyarakat. Awalnya, mereka hanya fokus menangani masalah pluralisme di Sumatera Utara. Namun, belakangan mulai menangani masalah di Aceh, Riau dan Padang.

Beberapa kasus lain yang mereka tangani adalah penurunan patung Budha di Tanjung Balai, pelarangan aktivitas Ahmadiyah oleh Walikota Medan, pendirian rumah ibadah Parmalim dan Peraturan Daerah Pak-pak Dairi tentang anti pelacuran yang berpotensi mengkriminalisasi perempuan. Selain itu, ia juga mengangkat isu hak-hak kaum Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT).

Sosok yang Peka

Sejak mahasiswa, lelaki kelahiran Sidikalang, 17 April 1978  ini sudah aktif di lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)  yang menangani isu kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pilihannya untuk terjun di LSM bermula dari niat ikut-ikutan saja. Namun, belakangan ia tertarik memperjuangkan hak-hak minoritas seiring bertumbuhnya rasa prihatin melihat orang-orang yang haknya dirampas. “Semua orang berhak diperjuangkan,” tegas Very. Kemudian, tahun 2004-2009 ia juga membentuk “Peduli”, lembaga yang juga menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Keaktifannya di LSM membuat Very dikenal sebagai sosok yang cerdas, energik dan peduli. Sarma Hutajulu, seorang pengacara yang sudah mengenal Very kurang lebih delapan tahun menjelaskan sosoknya yang peka. “Ketika terjadi sesuatu di sekelilingnya dia langsung respon itu. Dia cepat mengambil inisiatif,” kata Sarma.
Misalnya untuk kasus yang menimpa perempuan dan pluralisme, Very kerap melakukan penggalangan dana hingga memberikan pressure kepada pihak terkait. Sikap peka ini diiringi pula dengan rasa percaya dirinya yang tinggi. Meski kebanyakan orang bilang ia tidak mampu, namun ia akan tetap lakukan dengan  percaya diri. “Dia itu selalu pengin tampil. Kalau istilah sekarang bisa dibilang dia itu narsis lah,” kata Sarma sambil tertawa.

Selain bentuk advokasi, Very kerap melakukan penelitian, memberikan pelatihan kepada mahasiswa, akademisi, masyarakat dan kaum LGBT. Isu LGBT baru-baru saja mereka angkat karena menurut Very,  belakangan isu ini mulai muncul di masyarakat. Bahkan mereka dekat dengan tindak kekerasan dan pelanggaran haknya oleh pemerintah.

Menurut Very, setiap orang berhak menentukan nasibnya sendiri. Bahkan masalah pilihan seks itu adalah hak mereka. Tidak ada yang berhak melarang dan mengatakan mereka berdosa.”Itukan masalah dia dengan Tuhannya, ya selama mereka tidak mengambil hak orang lain, mereka pantas dibela,” kata Very.
Very kerap menerima macam-macam tudingan miring sebagai konsekuensi atas perjuangan yang ia lakukan. 

Perjuangannya sering dianggap salah oleh pemerintah maupun masyarakat yang punya pandangan lain.
Di Aceh, sempat beredar imbauan pemerintah setempat bahwa Very provokator. Ia sempat dilarang muncul di Tanjung Balai. Pemerintah Pakpak Dairi mengatakan ia sebagai penikmat pelacur terkait protes yang dilayangan Very perihal rancangan undang-undang anti pelacuran. Very sering di stigma macam-macam, bahkan dituduh jadi bagian isu yang disuarakan,” papar Sarma.

Namun tudingan-tudingan itu tidak menyurutkan niatnya. Justru ia semakin gigih menyuarakan hak-hak kaum minoritas di tengah masyarakat. Menurut Very masyarakat hanya kurang diberi pemahaman masalah pluralisme maupun LGBT.

Namun perjuangan Very dalam menegakan pilar-pilar HAM tak sia-sia. Tahun 2011 lalu ia masuk nominasi Maarif  Institute Award, sebuah bentuk apresiasi dan pengakuan terhadap anak-anak bangsa yang berdedikasi tinggi untuk merawat keindonesiaan dan memerjuangkan kemanusiaan. Award ini merupakan ikhtiar untuk menemukan pribadi-pribadi kreatif dan tangguh yang berjuang untuk kemanusiaan guna mempromosikan dan menularkan kerja-kerja kemanusiaan di tingkat masyarakat akar rumput.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar