Oleh Debora Blandina Sinambela
Beragam
tudingan miring kerap ia terima. Dituduh provokator, penyebar berita
bohong, tidak beragama, teroris, tidak bermoral hingga dikatakan
penikmat pelacur.
Veryanto Sitohang mencoba mengingat kembali kejadian yang ia alami sekitar November 2011, saat membuka akun facebook miliknya. Ia mendapati pesan dari Pendeta Elson Lingga, Pendeta Ressort Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) di Wilayah Kuta Karangan Kecamatan Simpang Kanan Kabupaten Aceh Singkil, bahwa gereja mereka terancam dibongkar.
Saat
itu Very menyampaikan agar jemaat sabar dan turut prihatin dengan
kondisi mereka. Selang enam bulan kemudian, tepatnya Mei 2012 Very
kembali dapat pesan dari Pendeta Elson menyatakan bahwa gereja mereka
telah disegel. Ia pun terkejut dan segera meminta kontak Pendeta Elson,
memastikan permasalahannya.
Very yang merupakan direktur Aliansi Sumut Bersatu (ASB), organisasi yang berotasi pada masalah-masalah pluralisme membicarakan hal ini pada anggotanya. Dua hari kemudian Very dan tiga rekannya di ASB sepakat berangkat menuju Singkil.
Sesampainya
di sana, Very segera melakukan pertemuan dengan majelis gereja yang
terancam dibongkar. Dalam pertemuan itu, ASB dan majelis-majelis gereja
merumuskan kronologis penyegelan dan strategi advokasi membatalkan
rencana Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil.
Very
dan majelis gereja mengambil langkah dengan mengirim surat ke sejumlah
tokoh agama, negarawan, aktivis, cendekiawan, dan lembaga negara
terkait. Diharapkan mereka berkenan memberi pandangan kepada
pemerintah, khususnya Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama,
Kementerian Hukum dan HAM, Gubernur Aceh, Bupati Singkil dan aparat
Kepolisian untuk memberi perlindungan serta jaminan kebebasan beribadah
sesuai dengan agama dan keyakinannya.
Very menyebutkan, penyegelan
gereja-gereja di Kabupaten Aceh Singkil menambah daftar panjang kasus
intoleransi di Indonesia. ”Realitas ini membuat hak masyarakat atas
jaminan kebebasan beribadah sesuai agama dan keyakinan tidak terpenuhi
bahkan dirampas oleh pengambil kebijakan,” ujarnya.
Kasus
penyegelan di Aceh Singkil hanya sebagian kecil dari kasus yang ia
tangani bersama ASB. Sebenarnya, ASB dibentuk untuk melihat ancaman
keberagaman yang menguat di tengah masyarakat. Awalnya, mereka hanya
fokus menangani masalah pluralisme di Sumatera Utara. Namun, belakangan
mulai menangani masalah di Aceh, Riau dan Padang.
Beberapa
kasus lain yang mereka tangani adalah penurunan patung Budha di Tanjung
Balai, pelarangan aktivitas Ahmadiyah oleh Walikota Medan, pendirian
rumah ibadah Parmalim dan Peraturan Daerah Pak-pak Dairi tentang anti
pelacuran yang berpotensi mengkriminalisasi perempuan. Selain itu, ia
juga mengangkat isu hak-hak kaum Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender
(LGBT).
Sosok yang Peka
Sejak
mahasiswa, lelaki kelahiran Sidikalang, 17 April 1978 ini sudah aktif
di lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menangani isu kekerasan
terhadap perempuan dan anak. Pilihannya untuk terjun di LSM bermula dari niat ikut-ikutan
saja. Namun, belakangan ia tertarik memperjuangkan hak-hak minoritas
seiring bertumbuhnya rasa prihatin melihat orang-orang yang haknya
dirampas. “Semua orang berhak diperjuangkan,” tegas Very. Kemudian,
tahun 2004-2009 ia juga membentuk “Peduli”, lembaga yang juga menangani
kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Keaktifannya
di LSM membuat Very dikenal sebagai sosok yang cerdas, energik dan
peduli. Sarma Hutajulu, seorang pengacara yang sudah mengenal Very
kurang lebih delapan tahun menjelaskan sosoknya yang peka. “Ketika
terjadi sesuatu di sekelilingnya dia langsung respon itu. Dia cepat
mengambil inisiatif,” kata Sarma.
Misalnya untuk kasus yang menimpa perempuan dan pluralisme, Very kerap melakukan penggalangan dana hingga memberikan pressure
kepada pihak terkait. Sikap peka ini diiringi pula dengan rasa percaya
dirinya yang tinggi. Meski kebanyakan orang bilang ia tidak mampu, namun
ia akan tetap lakukan dengan percaya diri. “Dia itu selalu pengin tampil. Kalau istilah sekarang bisa dibilang dia itu narsis lah,” kata Sarma sambil tertawa.
Selain
bentuk advokasi, Very kerap melakukan penelitian, memberikan pelatihan
kepada mahasiswa, akademisi, masyarakat dan kaum LGBT. Isu LGBT
baru-baru saja mereka angkat karena menurut Very, belakangan isu ini
mulai muncul di masyarakat. Bahkan mereka dekat dengan tindak kekerasan
dan pelanggaran haknya oleh pemerintah.
Menurut Very, setiap
orang berhak menentukan nasibnya sendiri. Bahkan masalah pilihan seks
itu adalah hak mereka. Tidak ada yang berhak melarang dan mengatakan
mereka berdosa.”Itukan masalah dia dengan Tuhannya, ya selama mereka
tidak mengambil hak orang lain, mereka pantas dibela,” kata Very.
Very
kerap menerima macam-macam tudingan miring sebagai konsekuensi atas
perjuangan yang ia lakukan.
Perjuangannya sering dianggap salah oleh
pemerintah maupun masyarakat yang punya pandangan lain.
Di
Aceh, sempat beredar imbauan pemerintah setempat bahwa Very provokator.
Ia sempat dilarang muncul di Tanjung Balai. Pemerintah Pakpak Dairi
mengatakan ia sebagai penikmat pelacur terkait protes yang dilayangan
Very perihal rancangan undang-undang anti pelacuran. “Very sering di stigma macam-macam, bahkan dituduh jadi bagian isu yang disuarakan,” papar Sarma.
Namun
tudingan-tudingan itu tidak menyurutkan niatnya. Justru ia semakin
gigih menyuarakan hak-hak kaum minoritas di tengah masyarakat. Menurut
Very masyarakat hanya kurang diberi pemahaman masalah pluralisme maupun
LGBT.
Namun perjuangan Very dalam menegakan pilar-pilar HAM tak sia-sia. Tahun 2011 lalu ia masuk nominasi Maarif Institute Award, sebuah bentuk apresiasi dan pengakuan terhadap anak-anak bangsa yang berdedikasi tinggi untuk merawat keindonesiaan dan memerjuangkan kemanusiaan. Award ini merupakan ikhtiar untuk menemukan pribadi-pribadi kreatif dan tangguh yang berjuang untuk kemanusiaan guna mempromosikan dan menularkan kerja-kerja kemanusiaan di tingkat masyarakat akar rumput.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar