Jumat, 16 Agustus 2013

Veryanto Sitohang: Dari Pluralisme Hingga LGBT


Beragam tudingan miring kerap ia terima. Dituduh provokator, penyebar berita bohong, tidak beragama, teroris, tidak bermoral hingga dikatakan penikmat pelacur. 

 Veryanto Sitohang mencoba mengingat kembali kejadian yang ia alami sekitar November 2011, saat  membuka akun facebook miliknya. Ia mendapati pesan dari Pendeta Elson Lingga, Pendeta Ressort Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) di Wilayah Kuta Karangan Kecamatan Simpang Kanan Kabupaten Aceh Singkil, bahwa gereja mereka terancam dibongkar.

Saat itu Very menyampaikan agar jemaat sabar dan turut prihatin dengan kondisi mereka. Selang enam bulan kemudian, tepatnya Mei 2012 Very kembali dapat  pesan dari Pendeta Elson menyatakan bahwa gereja mereka telah disegel. Ia pun terkejut dan segera meminta kontak Pendeta Elson, memastikan permasalahannya.

Very yang merupakan direktur Aliansi Sumut Bersatu (ASB), organisasi yang berotasi pada masalah-masalah pluralisme membicarakan hal ini pada anggotanya. Dua hari kemudian Very dan tiga rekannya di ASB sepakat berangkat menuju Singkil.

Sesampainya di sana, Very segera  melakukan pertemuan dengan majelis gereja yang terancam dibongkar. Dalam pertemuan itu, ASB dan majelis-majelis gereja merumuskan kronologis penyegelan dan strategi advokasi membatalkan rencana  Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil.

Very dan majelis gereja mengambil langkah dengan mengirim surat ke sejumlah tokoh agama, negarawan, aktivis, cendekiawan, dan lembaga negara terkait. Diharapkan  mereka berkenan memberi pandangan kepada pemerintah, khususnya Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan HAM, Gubernur Aceh, Bupati Singkil dan aparat Kepolisian untuk memberi perlindungan serta jaminan kebebasan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya.

Very menyebutkan, penyegelan gereja-gereja di Kabupaten Aceh Singkil menambah daftar panjang kasus intoleransi di Indonesia. ”Realitas ini membuat hak masyarakat atas jaminan kebebasan beribadah sesuai agama dan keyakinan tidak terpenuhi bahkan dirampas oleh pengambil kebijakan,” ujarnya.

Kasus penyegelan di Aceh Singkil hanya sebagian kecil dari kasus yang ia tangani bersama ASB. Sebenarnya, ASB dibentuk untuk melihat ancaman keberagaman yang menguat di tengah masyarakat. Awalnya, mereka hanya fokus menangani masalah pluralisme di Sumatera Utara. Namun, belakangan mulai menangani masalah di Aceh, Riau dan Padang.

Beberapa kasus lain yang mereka tangani adalah penurunan patung Budha di Tanjung Balai, pelarangan aktivitas Ahmadiyah oleh Walikota Medan, pendirian rumah ibadah Parmalim dan Peraturan Daerah Pak-pak Dairi tentang anti pelacuran yang berpotensi mengkriminalisasi perempuan. Selain itu, ia juga mengangkat isu hak-hak kaum Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT).

Sosok yang Peka

Sejak mahasiswa, lelaki kelahiran Sidikalang, 17 April 1978  ini sudah aktif di lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)  yang menangani isu kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pilihannya untuk terjun di LSM bermula dari niat ikut-ikutan saja. Namun, belakangan ia tertarik memperjuangkan hak-hak minoritas seiring bertumbuhnya rasa prihatin melihat orang-orang yang haknya dirampas. “Semua orang berhak diperjuangkan,” tegas Very. Kemudian, tahun 2004-2009 ia juga membentuk “Peduli”, lembaga yang juga menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Keaktifannya di LSM membuat Very dikenal sebagai sosok yang cerdas, energik dan peduli. Sarma Hutajulu, seorang pengacara yang sudah mengenal Very kurang lebih delapan tahun menjelaskan sosoknya yang peka. “Ketika terjadi sesuatu di sekelilingnya dia langsung respon itu. Dia cepat mengambil inisiatif,” kata Sarma.
Misalnya untuk kasus yang menimpa perempuan dan pluralisme, Very kerap melakukan penggalangan dana hingga memberikan pressure kepada pihak terkait. Sikap peka ini diiringi pula dengan rasa percaya dirinya yang tinggi. Meski kebanyakan orang bilang ia tidak mampu, namun ia akan tetap lakukan dengan  percaya diri. “Dia itu selalu pengin tampil. Kalau istilah sekarang bisa dibilang dia itu narsis lah,” kata Sarma sambil tertawa.

Selain bentuk advokasi, Very kerap melakukan penelitian, memberikan pelatihan kepada mahasiswa, akademisi, masyarakat dan kaum LGBT. Isu LGBT baru-baru saja mereka angkat karena menurut Very,  belakangan isu ini mulai muncul di masyarakat. Bahkan mereka dekat dengan tindak kekerasan dan pelanggaran haknya oleh pemerintah.

Menurut Very, setiap orang berhak menentukan nasibnya sendiri. Bahkan masalah pilihan seks itu adalah hak mereka. Tidak ada yang berhak melarang dan mengatakan mereka berdosa.”Itukan masalah dia dengan Tuhannya, ya selama mereka tidak mengambil hak orang lain, mereka pantas dibela,” kata Very.
Very kerap menerima macam-macam tudingan miring sebagai konsekuensi atas perjuangan yang ia lakukan. 

Perjuangannya sering dianggap salah oleh pemerintah maupun masyarakat yang punya pandangan lain.
Di Aceh, sempat beredar imbauan pemerintah setempat bahwa Very provokator. Ia sempat dilarang muncul di Tanjung Balai. Pemerintah Pakpak Dairi mengatakan ia sebagai penikmat pelacur terkait protes yang dilayangan Very perihal rancangan undang-undang anti pelacuran. Very sering di stigma macam-macam, bahkan dituduh jadi bagian isu yang disuarakan,” papar Sarma.

Namun tudingan-tudingan itu tidak menyurutkan niatnya. Justru ia semakin gigih menyuarakan hak-hak kaum minoritas di tengah masyarakat. Menurut Very masyarakat hanya kurang diberi pemahaman masalah pluralisme maupun LGBT.

Namun perjuangan Very dalam menegakan pilar-pilar HAM tak sia-sia. Tahun 2011 lalu ia masuk nominasi Maarif  Institute Award, sebuah bentuk apresiasi dan pengakuan terhadap anak-anak bangsa yang berdedikasi tinggi untuk merawat keindonesiaan dan memerjuangkan kemanusiaan. Award ini merupakan ikhtiar untuk menemukan pribadi-pribadi kreatif dan tangguh yang berjuang untuk kemanusiaan guna mempromosikan dan menularkan kerja-kerja kemanusiaan di tingkat masyarakat akar rumput.

Sastra, Sebuah Pengabdian dan Tugas Kemanusiaan

Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya.  – John  F Kennedy

Ada pendapat mengatakan ber-sastra adalah kodrat ilahi yang ada pada manusia. Artinya siapapun  sebenarnya bisa menghasilkan karya sastra. Masalahnya akhir-akhir ini karya sastra lebih banyak menginduk pada keinginan kapitalis, bukan pada ibu kandungnya yaitu “kerja”.

Dalam buku ini, Nurani Soyomukti, seorang pekerja sosial-budaya menegaskan kembali esensi sastra itu. Dalam alam  terdapat realitas kehidupan berupa kontradiksi yang memunculkan pengetahuan, ide dan kreatifitas. Kontradiksi antar manusia terutama dalam hal kehidupan ekonomi, paling esensi diulas dalam karya sastra.

Kontradiksi harus dihadapi dan diselesaikan. Namun untuk mengetahui kontradiksi itu manusia harus berpikir lalu mencari strategi menyelesaikannya. Di sanalah hakikat kerja itu berperan, ada gerak fisik dan fikiran manusia untuk menghadapi dan merubah keadaan. Yang dianggap mampu menjangkau kontradiksi dalam masyarakat biasanya kaum intelektual dan sastrawan.

Namun belakangan, banyak sastrawan atau seniman yang justru mengeksploitasi realitas untuk diangkat dan menguntungkan dirinya sendiri, seolah menegaskan posisi inteleknya. Hanya bermain kata-kata baik dalam karya, tulisan, dan pembicaraan tanpa sampai pada analisis dan pengetahuan objektif.
 
Oleh WS Rendra, mereka dikatakan sebagai “seniman salon”  yang tidak mau menggugah kesadaran dan membangkitkan pergerakan mengontrol dan melawan penyimpangan. Hasil karya mereka berupa tulisan, buku, novel, film, sinetron tidak lebih dari proses dan kegiatan produksi ekonomis baik dari pengarang, penerbit, toko buku maupun masyarakat.

Buku misalnya, bukan hanya masalah penulisan tapi komoditi yang diproduksi penerbit dan dijual dipasaran untuk mencari keuntungan. Drama, adalah lahan bisnis yang mempekerjakan orang tertentu menghasilkan komoditas yang dikonsumsi penonton. Penulis, mereka para pekerja yang diupah oleh penerbit menghasilkan komoditi yang ingin dijual.

Karya mereka juga tak jauh-jauh dari penjualan kata cinta, eksploitasi perempuan yang secara tidak langsung sebagai “pelacur” yang dilegalkan, hedonisme, menjual mimpi dan komedi.  Masyarakat khususnya generasi muda diberi karya yang membuat mereka terlupa dengan realitas sosial. Yang ada, mereka dicekoki karya-karya  yang mengandung benih-benih pragmatisme, konsumerisme yang berujung pada pembodohan bangsa serta melanggengkan kapitalisme.
Inilah yang Nurani Soyomukti sampaikan melihat merebaknya karya-karya sastra kapitalis. Ia melahirkan buku penyadaran bahwa sastra adalah sebuah pengabdian dan tugas kemanusiaan. Bukan semata-mata sebagai kreativitas kosong dan ruang kosong. Tema-tema penting seperti kebohongan publik, persoalan korupsi, bahasa, sejarah, kontradiksi dalam realitas kehidupan harus menjadi hal dasar kerja-kerja kesenian.

Nurani menghadirkan karya pembanding yang menurutnya layak  dikatakan sebagai karya sastra.  Sebagai contoh karya Pramoedya Ananta Toer. Ia menggugah semangat pembaca dengan menceritakan lahirnya pencerahan dan kesadaran kelas tertindas membongkar penindasan di dalamnya. Dalam Bumi Manusia, ia mengangkat Minke yang awalnya berpaham feodal, kolot, dan bodoh menjadi manusia baru yang berwawasan luas, modern, dan mampu menjelaskan pada masyarakat penindasan fisik dan ideologi feodalisme dan kapitalisme-kolonialisme Belanda.

Kesadaran agar mampu menyingkap  lalu melawan penindasan adalah kesatuan pesan dari tulisan sastra Pram. Selain Pram, ada Marxim Gorky dalam novel Ibunda, WS Rendra dalam Sajak Sebatang Lisong, Puisi karya Widji Tukul, Novel karya Ayu Utami dalam Saman dan Larung.

Tak hanya novel, beberapa fim-film garapan sineas idealis mencoba mengangkat tema-tema dengan pesan moral yang menguak realitas kontradiktif dalam masyarakat dan mencoba mengajak penonton merenungkan keadaan yang perlu dirubah.

Film-film bertema realis seperti Mendadak Dangdut, Marsinah, Sendal Bolong untuk Hamdani, Mengejar Mas-Mas berusaha mengangkat tema humanis dan menguak bagaimana masyarakat kita masih didera berbagai masalah akibat sombongnya kekuasaan.

Juga film-film nasionalis seperti Naga Bonar Jadi 2, dan film-film yang berusaha mengangkat tema-tema tradisi seperti Pasir Berbisik dan Opera Jawa,  cukup menunjukkan tingkat estetik tanpa menyisakan kebodohan dalam masyarakat. Kebenaran-kebenaran seperti inilah yang harusnya diungkap melalui sastra.  
Dari semua penjelasan dan cara penulisan, penulis sepertinya cukup memberi perhatian pada aliran Marxisme. Bahasa yang digunakan lugas, serta sangat menentang kapitalisme dan menentang kelas-kelas dalam masyarakat.

Dalam buku ini, bentuk perlawanan diembuskan dengan bahasa yang menyala-nyala dan didukung data-data juga realitas yang terjadi. Sastra tak hanya permainan kata-kata semata, lebih dari itu.  Sastra berupa kata-kata bijak yang membangkitkan gerak melakukan perubahan. Itulah Sastra Perlawanan.

Pers Dalam Bayang-Bayang Kebebasan

“Jauh sebelum rezim Soekarno menghancurkan kebebasan pers di Indonesia, dunia pers Indonesia sendiri telah dijangkiti proses yang meniadakan makna kebebasan pers itu sendiri.” -Atmakusumah 
Astraatmadja
Kalimat di atas adalah gambaran kondisi pers di Indonesia dari zaman ke zaman yang ditulis oleh Atmakusumah Astraatmadja di salah satu buku karangannya. Pers yang dalam arti luas mencakup semua media komunikasi massa, dari awal kemunculannya selalu bermasalah dengan istilah kebebasan. Baik dari dalam media itu sendiri dan luar media.

Sebelum era Soekarno, sejumlah media dijadikan partai politik untuk alat perjuangan politik. Pers diarahkan sebagai media propaganda dengan tujuan memperoleh kekuaasaan. Sasarannya masyarakat luas. Kemudian mereka dicekoki ideologi dan paham-paham partai. Pers tak bisa berbuat banyak. Dan tinggal sedikit sekali pada akhirnya media yang berhasil memelihara kebebasannya.

Masa Soeharto pun tak jauh beda dengan masa Soekarno. Pers dibuat tak berdaya oleh pemerintah. Kalau ada media yang lantang bersuara dan menyinggung kepentingan pemerintah, media itu bisa dibredel. Aturan mendirikan media pun dipersulit dengan macam birokrasi.

Tahun 1998, lengsernya Soeharto melahirkan reformasi. Hasilnya, perbaikan sistem pemerintahan dari karakternya yang otoriter jadi lebih demokratis. Istilah pers bebas sebagai pilar ke empat demokrasi didengungkan. Media baru bermunculan. Ada yang bilang kemunculan media-media ini bak cendawan di musim hujan.

Pers mulai dilirik tak hanya sebagai media menyalurkan informasi, sarana pendidikan, kontrol sosial dan menghibur. Namun sebagai lahan bisnis yang menjanjikan. Kalau dulu pemilik media adalah wartawan dan pejuang, sekarang pemilik media tak jauh-jauh dari pengusaha yang orientasinya uang, hingga politikus yang orientasinya jabatan.

Pada kondisi ini, sebenarnya media di Indonesia sedang melalui sebuah proses. Dari media dengan kekuatan idealis pencari kebenaran yang selalu ditekan pemerintah menjadi industri otonom, diatur sedemikian rupa dan mementingkan diri sendiri.

Ditambah lagi dengan tak ada aturan jelas mengenai kepemilikan media. Siapa pun yang punya modal besar bisa membuat media sendiri atau membeli media lain yang kebetulan lagi bermasalah. Akhirnya terjadi koorporasi kepemilikan media. Satu orang bisa punya banyak media sekaligus. Pemusatan kepemilikan perusahaan media turut mengubah wajah kebebasan media dan kebutuhan informasi publik menjadi kebebasan menguasai pasar media.

Dalam teori ekonomi politik media, media dipandang sebagai perpanjangan tangan si pemilik media. Isi media akan selalu merefleksikan kepentingan mereka yang membiayai. Jadi bisa dibayangkan kalau media-media yang kita konsumsi setiap harinya dimiliki satu orang saja. Apa yang kita terima hanya sudut pandang dan otak satu orang saja.

Dari konten media yang disajikan kita bisa menilai apa kepentingan sipemilik media. Misalnya kalau media untuk tujuan komersial, isinya tak jauh-jauh dari hiburan belaka. Ambil satu contoh televisi. Program unggulan televisi-televisi ini adalah sinetron dan reality show yang bagi banyak orang memiliki kontribusi besar pada proses pembodohan massa. Acara-acara drama, sinetron, reality show dan gossip merupakan jualan utama. Tayangan-tayangan yang tak lebih sekadar menjual mimpi disajikan ketimbang persoalan kerakyatan.

Selain itu, media untuk tujuan politik. Media digunakan menyerang lawan politik dan sarana melakukan politik pencitraan. Misalnya kalau sipemilik media sedang melakukan orasi politik maka akan ditayangkan secara langsung meski mungkin pada saat yang bersamaan ada informasi lain yang lebih penting untuk diketahui masyarakat. Atau dalam menyajikan isu tertentu karena motif lain untuk keuntungan pribadi atau kelompok.

Di sini terlihat bagaimana korporasi media memiliki peran besar dalam menyaring apa yang boleh dan tidak boleh ditonton oleh masyarakat, apa yang baik dan tidak baik, serta bagaimana masyarakat harusnya bersikap.
Fenomena ini tak hanya dilihat sebagai fenomena bisnis, melainkan fenomena ekonomi politik yang melibatkan kekuasaan. Kepemilikan media, bukan hanya berurusan dengan persoalan produk, tetapi berkaitan dengan bagaimana kondisi sosial, citraan, berita, pesan dan kata-kata dikontrol dan disosialisasikan dalam masyarakat.

Akibat orientasi bisnis, tren baru media pun muncul. Tak hanya ingin menguasai pasar nasional, pasar daerah pun dilirik sebagai bentuk ekspansi bisnis. Media-media besar membuat media di daerah menjadi satu group dengan dalih supaya muatan-muatan daerah lebih tersorot. Dengan sistem ini, kemungkinan pembahasan muatan daerah memang besar supaya tak melulu media mengangkat isu seputar pulau Jawa saja.
Namun pada kenyataannya tak banyak isu lokal yang ditampilkan. Media-media lokal yang masuk dalam group justru harus mengikuti aturan pusat. Baik secara konten dan bentuk medianya sendiri. Kondisi ini tentu membatasi kreatifitas di daerah karena harus ikut pakem induknya. Lagi-lagi harus sesuai dengan kepentingan sang konglomerat.

Kalau dari luar, suasana media kelihatan demokratis. Namun dari pekerja media malah sebaliknya. Makin terbelunggu dan makin sempit ruang gerak organisasi bagi media, serikat pekerja, dan bagi individu yang bekerja sebagai SDM media. Gerak-gerik mereka dituntut supaya menyenangkan hati si pemilik media.
Para pekerja media yang mencoba memberontak dan mengkritisi kondisi ini justru menghadapi ancaman pemecatan. Kalau tak mau ikut arus, harus siap-siap dicampakan. Belakangan kisah pekerja media yang bermasalah dengan direksi juga semakin banyak.

Catatan kebebasan pers di Indonesia memang belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Dari masa ke masa, belenggu akan kebebasan itu datang silih berganti, lepas dari cengkraman buaya lalu masuk ke mulut singa. Istilah kebebasan seolah menjadi utopis.

Belakangan, bukan kebebasan yang tampak namun praktek pers otoriter yang sangat dikontrol si pemiliknya. Kebebasan pers dalam negara demokrasi tidak berjalan sesuai harapan. Pers yang semula disandingkan layaknya matahari yang menerangi sisi gelap berubah menjadi monster menakutkan yang mengubah segala sesuatunya menjadi abu-abu.

Ke depan, tantangan media tentu akan makin sulit. Media sarat kepentingan kemungkinan besar tumbuh makin 
banyak. Selama praktik-praktik kapitalis dalam media masih berlangsung, mustahil mengharapkan media bisa berubah. Media-media alternatif harus di dorong tumbuh supaya masyarakat punya pilihan lain. Mencerdaskan masyarakat juga menjadi tanggung jawab bersama supaya mampu memilah-milah mana informasi yang baik dikonsumsi.

Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU 2010. Aktif sebagai Pemimpin Umum di Pers Mahasiswa SUARA USU.

UU Ormas, Langkah Mundur dalam Demokrasi

Pemerintah keukeuh UU ini akan memberdayakan Ormas. Sejumlah Ormas menilai ini satu langkah mundur dalam demokrasi. Lantas pentingkah UU Ormas dibuat?

 

Kurang lebih dua bulan lalu, saya tahu Rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakat (RUU Ormas) karena sedang hangat dibicarakan di media. Beberapa organisasi di kampus ikut bergerak menyatakan ‘Tolak RUU Ormas”. Karena tak begitu paham RUU ormas lantas saya tak begitu peduli. “Ormas? Apa yang salah kalau Ormas diatur? Bagus dong, biar ormas yang sweeping seenak jidat dan hobi anarkis bisa ditindak tegas. Apalagi ormas yang taunya cuma ngincar APBN/APBD, tanpa sumbangsih yang jelas,” begitu saya pikir.

Hingga 2 Juli 2013 lalu, saat sejumlah Ormas masih menolak RUU ini, wakil ketua DPR mengetok palu mengesahkan RUU Ormas jadi UU Ormas. Esok harinya, UU Ormas jadi perbincangan di media cetak maupun elektronik. Bahkan jadi headline. Isinya lebih banyak soal kekecewaan aktivis dan ormas. Juga media sosial tak ketinggalan berkicau. “DPR ini sebenarnya mewakili siapa sih?” kata sebuah komentar.

Kalau merujuk sejarah istilah organisasi masyarakat sipil muncul sejak zaman cicero (106-43SM). Lalu JJ Rosseau memahaminya sebagai jaminan atas hak milik, kehidupan dan kebebasan anggotanya. Sejalan dengan lahirnya masa pencerahan, maka sejumlah organisasi muncul mengkritisi kebijakan negara (state) masa itu.

Di indonesia, Paska kemerdekaan (1950-an) masyarakat sipil mengalami kemajuan. Ia telah ikut mendorong terjadinya pembentukan sosial lewat proses industrialisasi, urbanisasi dan pendidikan modern. Hasilnya, munculnya kesadaran di kalangan kaum elit pribumi yang kemudian mendorong terbentuknya organisasi-organisasi sosial modern di awal abad ke-­20. Pada saat itu, organisasi-organisasi sosial dan politik dibiarkan tumbuh bebas dan memperoleh dukungan kuat dari warga masyarakat yang baru saja merdeka.

Lalu dari sejarah itu apa yang bisa kita lihat? Watchdog. Sejak awal, ormas menjadi bagian penting ber-demokrasi. Ormas hadir mengawasi setiap kebijakan yang dibuat negara. Dari kata ‘mendorong pembentukan sosial’, ada desakan yang mereka lalukan memengaruhi kebijakan negara dan agenda publik. Tapi apakah itu cukup jadi alasan kita merasa penting dengan Ormas? Lagian itukan dulu, beda konteks dengan sekarang.

Dalam demokrasi dibutuhkan saluran suara-suara publik untuk diartikulasikan sebagai keputusan-keputusan politik. Maka posisi partai politik adalah saluran politik itu. Justru sekarang, d itengah berkembangnya demokrasi Indonesia menjadi demokrasi transaksional dan pragmatis, rasanya sulit percaya pada pemerintah. Apa lagi partai politik. Kita tak bisa menampik bahwa krisis kepercayaan terhadap partai dan pemerintah jadi alasan lain pentingnya Ormas. Ormas jadi wadah yang menjembatani antara kepentingan publik dengan negara.

Coba kita lihat sejumlah kasus baik yang menyangkut hak asasi manusia, lingkungan, konflik agraria, pendidikan, agama, kesejahteraan sosial, dan lain sebagainya. Siapa yang lebih aktif dan nyata kerjanya? 
 Bukankah sejumlah organisasi non-pemerintahan? Saat pemerintah masih berencana membantu dan berurusan dengan masalah administrasi, ormas sudah turun lebih dulu membuktikan kinerja. Saat pejabat negara kong kali kong dengan perusahaan kertas membabat hutan, ormas yang bergerak melawan. Saat perampasan tanah milik masyarakat, ormas juga yang ikut berjuang bersama masyarakat. Kita tak bisa menutup mata soal itu. Sampai disini saya mulai sepakat kalau ormas ini penting.

Lalu, lahirlah UU Ormas. Pasal demi pasal menambah jumlah pasal yang dibuat pemerintah. Secara garis besar Ormas diatur soal badan hukum, keuangan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan hingga sanksi pembubaran. Bahkan terkesan mengekang gerak Ormas.

Dalam UU ini yang dimaksud adalah ormas sangat luas dan umum. Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan. Kewajiban semua ormas yang terdaftar dan tidak terdaftar, mengikuti proses penyaringan melalui kementerian terkait untuk mendapatkan izin dari pemerintah. Lantas apakah ibu-ibu arisan harus ikut mendaftar? Toh mereka termasuk dalam ormas seperti yang dimaksud dalam UU Ormas.

Dan yang lebih aneh lagi, organisasi yang berafiliasi dengan partai politik tak diatur dalam UU ini. Padahal sebenarnya merekalah yang perlu diawasi. Organisasi underbow partai biasanya yang menyebarkan paham partainya dan tak jarang berlaku seperti preman.

Kemudian di pasal 61 berisi banyak sekali larangan. Intinya segala tindakan yang tidak sesuai dengan keinginan pemerintah dilarang. Salah satu butir menarik soal melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kalaulah ada beberapa organisasi yang tegas mengkritisi pemerintah, mengajak masyarakat bergerak melawan kesewenang-wenangan pemerintah, organisasi ini bisa dihabisi karena bisa dijerat pasal ini.

Kemudian ormas dilarang “melakukan penyalahgunaan, penistaan, dan/atau penodaan terhadap agama yang diakui di Indonesia”. Pasal ini akan sangat subjektif menilai adanya “tindakan penodaan agama” terutama di tingkat masyarakat. Dalam implementasinya dikhawatirkan akan membahayakan kehidupan kebebasan untuk menganut dan menerima suatu agama atau kepercayaanya, karena yang dapat melakukan pengawasan adalah masyarakat dan pemerintah.

Larangan-larangan ini menjadi sangat tidak jelas dan subyektif. Dalam implementasinya ke depan, akan menjadi alasan menjatuhkan sanksi bagi ormas yang dianggap membahayakan keutuhan dan keselamatan NKRI. Tentunya ini akan terkait erat dengan pemerintahan yang berkuasa di masa yang akan datang. Ada pasal-pasal yang membawa ancaman organisasi dibekukan bila dinilai, secara sembarangan, melanggar UU Ormas.

Perjuangan bangsa ini sampai pada pintu reformasi tak mudah. Banyak pengorbanan baik harta dan nyawa. Salah satu pencapaian akan kita kenang dan banggakan dari negara ini lepasnya dari sistem otoriter ke demokrasi. Jangan sampai semua pencapaian ini sia-sia dan kembali ke rezim otoriter.

Salah satu hal yang dijamin dalam sistem demokrasi adalah adanya kebebasan berkumpul, berserikat, berpendapat dan beragama di Indonesia. Konstitusi negara ini bahkan menjaminnya dalam pasal 28 UUD 1945.
Kita juga tak bisa menutup mata tentang ormas-ormas tak sehat. Ormas yang mengandalkan kekerasan fisik dan berlaku semena-mena. Ormas semacam ini yang jadi pemecah perdamaian dan persatuan yang terjalin harmonis dalam ke-bhinekaan. Selama ini pemerintah seolah tak tegas dan tak berani menindak mereka yang sudah mengarah pada perbuatan kriminal. Yang di butuhkan dari pemerintah adalah sikap tegas. Bukan menciptakan UU Ormas yang menurut saya, tidak penting.

Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU 2010. Aktif sebagai Pemimpin Umum di Pers Mahasiswa SUARA USU.