Rabu, 30 Oktober 2013

Nostalgia

Oleh Debora Blandina Sinambela

Seharusnya kita tidak mencoba berada di sini, dalam kehampaan, tanpa bisa melakukan sesuatu apapun untuk menyelamatkan hati kita dari rasa sakit.

Aku mudah jatuh dengan suasana yang memberi ruang bernostalgia. Terkadang kau memang tenggelam dalam pikiran-pikiran yang berkelebat dan tak muncul ke permukaan. Tapi dalam waktu yang tidak kusangka, kau muncul kembali bersama kenanganmu. Ini semua membuatku masih merasa memilikimu, seperti barang kesayanganku yang hilang dan aku menemukannya lagi di genggaman orang lain. Aku ingin bilang, “Hai, itu milikku. Aku pernah memilikinya, saat ini aku ingin bersamanya.”



Aku tahu saat ini kau sudah memiliki perempuan yang ke sekian sejak kita sama-sama sepakat mengakhiri hubungan kita. Suatu siang lima tahun yang lalu. Yang kuingat, aku betul-betul terisak. Aku berusaha untuk berhenti menangis, namun yang ada butir-butir hangat itu tetap mengalir, deras semakin deras hingga mataku sembab. “Apakah benar-benar tidak bisa lagi kita pertahankan?” tanyaku waktu itu. Kau pun hanya mampu menjawab dengan gelengan.

Dan sekarang kita sedang berada di sebuah bukit, tempat kita sering menatap kota dari ketinggian. Di tempat ini kita pernah berjanji untuk saling menjaga hati bahwa kau tidak akan pernah meninggalkanku, pun demikian dengan aku. Semua kenangan itu mencuat kembali, merambas waktu serta menghancurkan bendungan yang kubangun sekuat hati selama ini.

Tiba-tiba hujan turun. Suhu di bukit jauh lebih dingin. Pertemuan ini jadi terasa melankolis, apalagi kita tak banyak bicara. Suara yang jelas kudengar hanya suara gesekan dedaunan karena dihantam awan yang mulai menutup badan bukit. Kota yang awalnya bisa kita lihat mulai samar-samar tertutup kabut. Ada perasaan takjub melihat gerakan awan yang seperti asap putih melewati tubuh kita. Untuk sebuah kencan mungkin ini akan terasa romantis. Tapi yang kurasakan ini kencan aneh. Kencan nostalgia, yang mempertemukan medium masa lalu dan masa kini.

“Aku belum pernah meminta maaf secara langsung. Maaf karena aku pernah membuatmu menangis. Maaf juga untuk mereka yang pernah mengusik kenyamananmu,” ujarmu memecah kebekuan.
“Ya. Lupakan saja, semua sudah jadi masa lalu,” kataku.

Ingatanku kembali melayang, menerawang. Mungkin kau teringat kejadian setelah kita putus. Kali ini soal perempuan barumu. Aku tak mengerti apa yang ia pikirkan. Dia pernah berpura-pura jadi dirimu untuk meminta kita kembali lagi. Dia pernah menanyakan keraguannya terhadapku. Dia ragu apakah kau mencintainya, dia ragu kalau dia hanya pelampiasanmu untuk segera melupakan aku. Aku begitu tulus mengatakan kalau kau sangat mencintainya. Bukankah karena kau begitu mencintainya maka kau putuskan aku?

“Kenapa kau membawaku ke sini?” tanyaku balik.

“Aku merindukannmu. Aku tidak tahu kenapa.”

Setelah sekian lama, kenapa kau harus kembali lagi? Kau tahu kita memang berbeda. Bedanya, aku tak pernah lelah dengan perasaan-perasaan sentimentil semacam ini. Aku selalu percaya berbagai harapan yang tumbuh di sekelilingku. Meski harapan yang hanya akan membuatku tidak produktif menjalani hidup. Harapan yang sering kali harus bertabrakan dengan kenyataan yang pahit. Bahwa kau tidak berani memilih atau membuat pilihan.

“Kenapa kau begitu sulit melupakanku Dian? Perasaanmu membuat aku merasa semakin berdosa terhadapmu.”

“Aku percaya bahwa cinta adalah anugerah. Yang kulakukan selama ini hanya mensyukuri anugerah itu. Bukan cinta yang salah atau perasaanku yang salah. Mungkin kita yang salah menempatkan rasa ini. Kalau kau tanya mengapa tidak bisa kutepis perasaan ini, jawaban apa pun kan tak akan membuatmu puas. Jangan merasa berdosa seperti itu, kau sedang tidak melakukan tindakan kriminal.”

Hujan semakin deras. Pohon pinus tempat kita berteduh tak dapat berbuat banyak. Kau bersandar di batang pinus sementara aku berdiri membelakangimu. Rambutmu mulai basah dan kau sedikit tampak menggigil. Tiba-tiba kau menarik tanganku, membuat tubuhku ikut tertarik tepat di sampingmu.

Kalau kau tetap di situ kau bisa basah kuyup. Itu alasan kenapa aku menarikmu di sampingku,” jawabmu menanggapi tatapanku yang meminta penjelasan atas tindakanmu yang tiba-tiba.

Kau tahu Dian, dalam doaku, aku memohon jikalau kita memang tidak ditakdirkan bersama, aku ingin kau dijauhkan dariku. Tapi jikalau engkau adalah perempuan yang diciptakan melengkapiku, aku ingin kita dipersatukan suatu saat nanti.”

“Apa mungkin suatu saat kita bisa kembali lagi?”

“Aku tak tahu. Yang bisa kupastikan aku merindukanmu."
Mendengar jawabanmu ada yang hendak meledak. Mataku mencari-cari kesungguhan di kedalaman matamu. Andai saja kau mengerti bahwa aku selalu takut dengan janji dan harapan, apalagi bila itu berkaitan dengan masa depan. Semua itu menyedot seluruh energi yang kupunya.

“Namun saat ini kita tidak bisa kembali. Besok aku harus kembali ke Flores, Dian. Aku tak yakin terhadap diriku sendiri. Aku dan kau akan terpisah jauh. Aku takut melakukan kesalahan dan itu berarti menyakitimu lagi. Dan kau juga tahu tentang dia.

Mendengar penjelasanmu aku hanya bisa terdiam. Hanya otakku yang berputar mencari arti semua ini. Setelah sekian lama aku masih menyimpan perasaan untukmu. Bersusah payah aku mengubur kenangan serta harapan yang kau buat. Berharap dengan begitu aku bisa melupakanmu. Kau mungkin tak tahu apa isi doa yang kupanjatkan setiap malam supaya suatu saat engkau kembali. Ya, kau memang kembali dan Tuhan menjawab doaku. Kau kembali bukan menjawab rindu yang ku bendung. Bukan meminta kita kembali seperti bayanganku saat kau mengajak aku ke bukit ini. Kau hanya mempertegas ketidakmampuanmu memilih.

“Dian aku masih menyayangimu”

“Aku tahu. Kau sudah mengatakan itu kemarin. Baiknya kita pulang, aku tak kuat menahan dingin ini lebih lama lagi.”

Hujan masih saja turun, mengiringi motor yang kau pacu menuruni bukit. Aku tak pernah merasa sedingin ini hingga membuat gigiku gemeretak. Namun aku tak terlalu hiraukan itu, di sudut hatiku aku merasakan kelegaan. Selama ini aku takut salah membuat pilihan. Di mataku hanya kau sosok sempurna yang membuat aku menghamba pada harapan-harapan kau kembali. Sedang kau sendiri, dibayangi oleh ketidakmampuan memilih. Maka kali ini kuputuskan berani memilih. Aku memilih menatap ke depan dan tak memandang kebelakang lagi. Kuyakini pilihanku kali ini benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar