Jumat, 03 Agustus 2012

Untuk Sebuah Keadilan

Ali Usman, 71 tahun, lima kali mengadu sebagai korban kekerasan, dua kali dijadikan terdakwa.  Saban hari, ia jualan tapai pakai sepeda dengan bawa keranjang bertuliskan “Ya Allah, Polisi Mafia, Iblis, Dajal, Bar-bar”.

Hujan menerpa kanopi parkiran Biro Rektor Universitas Sumatera Utara. Sedikit berlari, seorang lelaki menggiring sepedanya menuju parkiran. Titik-titik air menempel di kumisnya yang memutih dan plastik yang menutupi topinya. Ujung celana pantalon coklatnya basah.

Kulit wajah dan tangannya yang kecoklatan mulai keriput. Sama halnya dengan batik lusuh ia kenakan. Satu jengkal dari leher belakang bajunya, ada lobang seukuran kelereng.

Di Stang sepeda, kantong pelastik hitam tergantung. Isinya dua buah botol minum kosong dan beberapa karung plastik. Kursi sepeda diikat dengan karet hitam. Di bagian belakang sepeda, sebuah keranjang terbuat dari bambu terikat. Tempat tapai-tapai yang ia jajakan.

Ada yang tidak biasa dengan keranjang jualan Ali. Kakek berusia 71 tahun ini menambah tulisan terbuat dari styrofoam putih. Isi tulisannya “Ya Allah, Polisi Mafia, Iblis, Dajal, Bar-bar”. Besar tulisan itu kira-kira 70 cm x 100 cm.Tiap hari jualan, Ali bawa tulisan ini. Melintasi jalan-jalan kota Medan. Bukan tanpa alasan Ali melakukan ini. “Saya korban aparat”, ujar Ali mengganggukkan kepalanya.

Kejadiannya berawal di tahun 1987. Saat rumah Ali di jalan Danau Poso, Binjai, kemaligan. Uang, beras, televisi, emas anak-anaknya raib digasak maling. Saat kejadian ia sedang jualan tapai. Warga sekitar bilang, pelakunya preman desa itu.  Lantas Ali melapor ke Arkayan, kepala desa. Namun tak kunjung digubris. Dua dari preman desa itu, anak Arkayan.

Ali lapor lagi ke pihak berwajib. Beberapa media lokal angkat kejadian ini. Beberapa hari setelah ia melapor dan kejadian tersebar di media, tak disangka Arkayan mengantar Ali ke sel tahanan. Ali di tahan tiga minggu. Alasannya karena Ali tidak melaksanakan ronda satu malam di desanya. Selama ditahan ia dipukuli. Ali keluar dari tahanan berkat bantuan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

Selepas dari tahanan, Ali minta bantuan kepada LBH yang membebaskannya. Ia merasa sikap Arkayan semena-mena dan dinilai melindungi pelaku. Namun LBH menolak karena mereka tak sanggup.
 “Kami tidak bisa berbuat apa-apa, maaf Pak,” ujar Ali menirukan salah seorang anggota LBH. “Mereka takut, pak kades kan mantan PM ( Polisi Militer-red)”, kata Ali.

Kemalangan lain Ali alami. Tak lama setelah kejadian itu, ada yang sengaja bakar rumahnya. Setengah bagian rumahnya habis dilahap api. Ali lapor ke polisi lagi, namun yang ada ia malah dijadikan terdakwa. Dikatakan ia sengaja membakar rumahnya.

“Sejak saat itu saya tak percaya lagi sama polisi. Mereka harusnya jadi wakil Tuhan, bukan wakil hantu. Mereka wakil hantu!. Saya tak tahu lapor sama siapa lagi. Dengan tulisan seperti ini, perasaan saya sedikit terobati, semua orang bisa tahu”.

Kasus Ali termasuk kasus yang pernah ditangani Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Sumatera Utara. Dalam catatan Kontras, kasus yang Ali alami tercatat sebagai kasus kekerasan yang dilakukan aparat. Apa yang terjadi terhadap  Ali memberikan gambaran kalau polisi belum menempatkan diri sebagaimana mestinya.
 Diah Susilowati, Kepala Operasional KontraS Sumut mengatakan, apa yang terjadi sekarang ini bahkan tidak sesuai lagi dengan amanat Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam pasal 13 undang-undang tersebut tertulis, sebagai pelayan dan pelindung rakyat, polisi harus menempatkan dirinya netral di atas konflik yang dialami masyarakat. “Melihat Kasus Ali Usman, polisi belum berpihak pada masyarakat biasa,” kata Diah (Kompas.com, 26 april 2007).
                                                                               ***
Sudah sepuluh tahun Ali memasang tulisan-tulisan itu. Beberapa kali ia dicegat polisi, disuruh mencopot tulisan.

“Ambil itu tulisan,” ujar polisi.
“Saya tak akan ambil ini tulisan, terserah kamu mau tembak kepala saya,” kata Ali sambil sembari mengeluarkan sebilah parang.


Tulisan saat pelatihan narasi sama kak Moyang Kasih Dewi Merdeka, 5-6  juli 2012 di SUARA USU.

Jumat, 20 Juli 2012

Bunga Ramadhan



  Pemandangan tak asing lagi kalau pedagang musiman muncul saat Jelang Ramadhan. Namun bagaimana cerita kalau anak-anak sekolah memanfaatkan kesempatan ini dengan berjualan bunga sembari mengisi liburan sekolah mereka.

 Dua orang gadis kecil buru-buru lari menemui seorang bapak yang hendak ziarah. Deru motornya belum juga mati, dua gadis kecil tadi sudah sibuk menawarkan dua kantong plastik. Isinya plastik berupa bunga tabur  yang dibungkus dengan daun pisang.

“Ini pak, bunganya pak, bunganya....!” ujar salah seorang gadis.

“Bunganya pak,bunganya..... !” Ujar gadis kecil lain tak mau kalah menawari. Namun si Bapak tak beli satupun bunga mereka. “Enggak dek...!” jawab si bapak sambil mengangkat kedua tangan setinggi dada. Dua gadis kecil tadi pun meninggalkan si bapak, mencari peziarah lain.

 Kedua gadis itu adalah Sri Warda Handayani (13) dan Putri (10). Mereka anak-anak kecil penjual bunga di sekitar pekuburan di jalan Halat, Medan. Sri tercatat sebagai siswa kelas 1 di SMP Mamiai. Sri sendiri sudah jualan bunga sejak kamis lalu (12/7).

  Tiap hari Sri jualan bunga mulai jam tujuh pagi hingga pukul tujuh malam. Ia membantu orangtuanya menjajakan bunga-bunga kepada peziarah yang hendak berziarah. “Sekali-sekali mau bantu orangtua’’, Ujar Sri tersenyum. Tiap jelang  Ramadhan, Sri mengaku selalu jualan bunga. Sejak tiga tahun lalu ia ikut bantu orang tua jualan bunga.

  Untuk setiap bunga bungkusan, Sri menjualnya seharga Rp 1500 - 2000/ bungkus. Tiap hari pendapatan Sri tak menentu, melihat jumlah pengunjung. Biasanya kalau pengunjung banyak, Sri bisa laku banyak. Kalau tidak, Sri hanya bisa berpuas seadanya. Rata-rata uang hasil penjualan bunga sebanyak Rp 100 ribu- Rp 300 ribu.

  Namun satu hari menjelang Ramadhan, pengunjung tak sebanyak biasanya. Ditayai berapa penghasilan hari ini, Sri tak mau nyebut nominalnya.”Gak sebanyak kemaren kak, ini udah hari terakhir jualan bunga”, kata Sri.

  Sementara Putri, tak satu pun bunga yang ia jajakan terjual. Padahal ini hari pertama Putri jualan bunga. “Capek kak, gak ada laku!”, ujar gadis yang masih kelas 5 di SD Negeri 107405 Sei Rotan.

  Ada juga Tika, siswa kelas 2 SMP Iraswasta. Sudah delapan hari Tika Jualan Bunga. Tika memanfaatkan liburan sekolahnya untuk membantu orang tua sekaligus menambah uang jajan. “Kalau libur biasanya gak dikasih uang jajan, makanya jual bunga biar dapat jajan”, kata Tika. Selain itu dengan jualan bunga, ia juga bisa dapat teman-teman baru. “Di sini lebih 20 anak-anak yang jualan bunga. Bisa jadi temanan sama mereka”, tambah Tika.

Beberapa anak memang terlihat memanfaatkan liburan untuk membantu orang tua. Bahkan ada yang berusaha sendiri memenuhi kebutuhan yang mereka inginkan. Misalnya Yunasril, anak kelas 6 SD 060824 Medan Area ini mengaku ingin membeli perlengkapan sekolah seperti tas, sepatu, dan baju. “Mama belum beli perlengkapan sekolah,” ujar anak ke sepuluh dari sepuluh bersaudara ini.

 Tak mudah bagi anak-anak ini menjajakan bunga mereka.  Panas terik, arus lalu lintas yang ramai menjadi ancaman yang mengintai  saat berusaha menjajakan bunga-bunga mereka. Belum lagi rasa kecil hati yang mereka rasakan saat di tolak pembeli. “paling sedih itu pas ditolak”, kata Tika.

Selain itu mereka juga harus berhadapan dengan pedagang lain yang merasa tersaingi. Ada yang mau dijambak, disenggak atau di usir penjual bunga lain kalau mereka jual lebih murah. “Aku jual empat lima ribu, trus langsung mau dijambak sama ibu-ibu lain yang jualan bunga. Katanya jualannya bisa gak laku”, cetus Sri.

Jumat, 22 Juni 2012

Menapaki Jejak Masa Lampau Di Tepian Danau Toba

Siang itu cukup panas. Rasanya matahari bersinar tepat diatas kepala saya. Menapaki aspal mulus sendirian, membuat saya betul- betul menikmati  udara sejuk yang berhembus dari  Danau Toba. Hamparan sawah hijau dan megahnya Dolok Tolong yang dikelilingi bentangan Bukit Barisan  membuat saya  semakin takjub pada tanah kelahiran saya, Tano Batak. Setelah berjalan kurang lebih 300 meter, akhirnya saya tiba di tempat tujuan saya, Museum TB. Silalahi Center.

Dengan sigap, petugas keamanan lengkap dengan seragam kebesarannya mempersilahkan saya masuk setelah membayar konstribusi sebesar sepuluh ribu rupiah. Museum TB. Silalahi Center terletak di Jalan Pagar Batu , Desa Silalahi, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir.  Museum ini dibangun pada tanggal 7 Agustus 2006  oleh Letjend (Purn) DR TB Silalahi Sh dan diresmikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada April 2008. Museum ini terdiri atas Gedung Induk, Ruma Bolon, Museum Batak, perkampungan Batak , cafe & restoran, serta taman -taman bunga yang tertata rapi.




Memasuki kawasan museum, kita akan di samput pajangan  helikopter  militer jenis BO-106 yang sering digunakan Pak TB selama bertugas di TNI Angkatan Darat. Satu unit tank tempur jenis AMX-13 buatan Perancis yang dulu sempat digunakan pasukan militer Israel. Belakangan dibeli Indonesia memperkuat Batalyon Tank TNI AD, dimana TB Silalahi tercatat sebagai Komandan Batalyon Tank pertama saat berpangkat Mayor.

Kemudian saya memasuki bangunan utama yaitu Gedung induk dengan arsitektur modern di padu ukiran-ukiran tradisi batak dan ornamen batak. Didalam gedung ini kita bisa menikmati museum pribadi TB Silalahi. Disepanjang dinding gedung berisi riwayat hidup, pendidikan, prestasi, karier,  kisah-kisah pilu yang penuh perjuangan dari seorang TB Silalahi. Ada juga patung-patung TB silalahi dengan berbagai kostumnya selama masih menjadi angkatan. Asesoris, senjata, pakaian, kendaraan, bintang  penghargaan, foto-foto kenangan dan segala sesuatu menyangkut TB Silalahi bisa kita temukan.



Setelah keluar dari gedung utama, kita bisa melihat Ruma Bolon yang berarti Rumah Besar yang merupakan Rumah adat Batak. Terdapat banyak Gorga (ukiran-ukiran) di sepanjang dinding Rumah yang memiliki nilai filosofis dan religius. Singa – singa di kiri dan di kanan, jenggar maupun ulupaung untuk rasa nyaman penghuni, hiasan payudara yang berarti kesuburan dan  kadal/cecak yang bermakna kebijaksanaan.

Untuk kesekian kalinya saya terpesona dengan arsitektur bagunan Museum Batak yang berada di kiri bangunan Induk. Selain mengadopsi unsur tradisional, bangunan panggung juga menyesuaikan diri dengan kondisi elevasi lahan yang berkontur. Bangunan museum ini dibuat bertingkat dua dengan satu lantai mezzadine sebagai lobby. Sebelum memasuki gedung, kita disambut dengan patung Raja Batak setinggi tujuh meter yang memegang togkat Tunggal Panaluan.

Dalam Museum Batak  kita bisa menemukan ikon Budaya Batak dan koleksi etnografi batak. Ada koleksi dari Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Angkola, Batak Karo, Batak Simalungun dan Batak Pak-Pak. Koleksi yang disimpan di Museum Batak berupa benda-benda artefak yang dikelompokkan berdasarkan tema tertentu. Seperti yang berkaitan dengan Arsitektur, Aksara dan Sastra, Karya Seni, Religi dan Upacara, Peralatan sehari-hari.

Setelah mengelilingi bangunan yang luasnya sekitar 2900 meter persegi yang terdiri dari museum tertutup 1300 meter persegi, museum terbuka 1300 meter persegi dan fasilitas lain 300 meter persegi,  kaki saya mulai terasa pegal. Saya pun memutuskan untuk beristirahat sambil memandang bebas dari lantai dua museum yang berdinding kaca transparan ke arah Danau toba. Pemandangan yang menurut saya benar-benar sempurna. Terlihat jelas Pulau samosir yang berada di tengah danau, Bukit Barisan yang membentang serta kota-kota yang berada di pinggiran Danau Toba.  Ditambah lagi dengan lagu Oh Tano Batak yang berkumandang, benar-benar membawa saya terhanyut pada setiap detik yang berlalu.

Perjalanan kita belum selesai, masih ada tempat yang harus kita kunjungi yaitu Kampung Batak. Area ini berisikan rumah tradisi Batak Toba yang berusia sekitar 120-150 tahun. Tempat ini di resmikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 18 Januari 2011. Seperti halnya pemukiman khas Batak, tempat ini tertutup membentuk masyarakat kelompok kecil yang berisi tiga Ruma dan tiga Sopo.

Di depan salah satu ruma terdapat Patung Sigale-gale yang erat kaitannya dengan mitos upacara pemakaman. Konon patung ini akan manortor sendiri setelah dibantu oleh dukun untuk menghibur orang yang sudah meninggal namun dia tidak memiliki anak lelaki sebagai penerus marganya.

Selain itu terdapat ulubalang yaitu patung yang terbuat dari batu atau kayu yang di ukir. Patung ini dikatakan sebagai pelindung desa dan di puja serta disembah agar selamat dari bahaya  pada zaman animisme. Didepan patung terdapat kotak permohonan. Jika mau, anda bisa memasukkan kertas yang berisi permohanan anda. Ada juga replika Makam Batu yang berbentuk keranda dari zaman batu besar (Megalitikum). Biasanya dijadikan sebagai tempat pemakaman kepala suku atau orang yang dihomati.


Tidak terasa tiga jam sudah saya berada di tempat ini. Kesan modern namun mengandung unsur tradisional Batak menghiasi setiap detil dari lokasi ini. Bukan hanya dari koleksi barang-barangnya saja yang menjadi daya tarik namun dengan latar belakang Danau Toba yang asri membuat anda betah berlama-lama. Setiap bangunan tertata rapi dan dihubungkan oleh jalan-jalan kecil yang terbuat dari batu serta taman-taman bunga yang di desain khusus.

Bagi yang ingin melakukan penelitian bisa mengunjungi tempat ini atau sekedar ingin mengenal budaya batak juga bisa menjadikan tempat ini sebagai salah satu tujuan wisata anda. Selain  bisa menikmati wisata yang mendidik, juga bisa menikmati wisata alam sekaligus. Setelah  mengelilingi semua tempat, perjalanan akan terasa semakin sempurna dengan menutupnya di  cafe & restoran TB Silalahi Center sambil memandang senja di Danau Toba.



Jalan Menuju Rumah


Aku terlalu banyak mengeluh
belum seberapa jalan yang sudah ku lalui
namun rasa lelah  duluan menghadang
belum setengah jalan sampai
masih beberapa langkah dari garis awal
serasa berjalan diatas aspal panas
tanpa alas kaki
ingin cepat pergi dari jalan ini

di ujung jalan ini
aku tau ada sebuah rumah
yang dibangun beratapkan harapan
berdindingkan impian
berpondasikan kekuatan
aku memang belum pernah melihat rumah itu
hanya mendengar dari mereka
yang lebih jauh menempuh jalan dariku
mereka pun belum perrnah melihatnya
namun mampu merasakan keberadaan rumah itu

kita tak pernah tau kapan jalan ini berakhir
jalan ini juga tidak selalu lurus
akan banyak persimpangan, tanjakan bahkan turunan
jalan ini juga tak selalu mulus
akan ada lubang dan kerikil
atau kita mungkin akan tesesat
jika tidak patuh arah
namun satu hal yang pasti
satu langkah memang tak berarti
namun tetaplah bergerak, berjalan
disetiap jalan yang kau lalui
banyak hal yang akan kau temui
satu, dua hingga seribu langkah
kaupun menemukan seribu hal baru

“ Medan, 18 November 2011 pukul 19.44. Saat aku cukup lelah dan menunggu seseorang yang membawa kunci itu”.