Kamis, 02 Mei 2013

GPIB Immanuel, Pesona Gereja Tua


Oleh: Debora Blandina Sinambela

Sebuah saksi bisu perjalanan Kota Medan sejak zaman penjajahan. Kini, ia telah berstatus cagar budaya dan menjadi tempat ibadah yang dikunjungi berbagai etnik. 

Berada tepat di depan Kantor Gubernur Provinsi Sumatera Utara, di Jalan Dipenogoro Nomor 24-27, Medan. Berdiri Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Immanuel. Sebuah bangunan bercat putih kusam dengan arsitektur bergaya renaissance. Menaranya yang di beberapa sisi tampak ditumbuhi  rumput, menjulang sekitar 20 meter.  Menjadi daya tarik bagi mereka yang pertama kali melihatnya.
Puncak menaranya berbentuk kubah, ciri khas bangunan peninggalan Belanda. Di dalamnya terdapat sebuah lonceng besi setinggi hampir dua meter buatan tahun 1922. Menara itu juga dihiasi empat jam dinding menghadap ke empat arah yang berbeda.
Untuk mencapai puncak menara, Sekitar 40 buah anak tangga harus kita daki. Lebar tangga hanya seukuran badan.  Menjejali anak tangga satu persatu, sesekali bunyi krak terdengar dari tangga.  Menoleh ke kiri dari anak tangga ke 20, kita bisa melihat sebuah mesin jam bentuk kotak ukuran 2x1 meter. Ditengah minimnya sumber cahaya, sebuah lampu neon  buat detail mesin ini terlihat jelas.
Dulu, saat jam dinding ini masih berfungsi, bila jarum di keempat jam berada tepat di angka dua belas, bandul pada lonceng akan berdentang secara otomatis. Memecah keheningan Medan hingga tiga kilometer jauhnya. Jam dan suara lonceng gereja inilah yang digunakan masyarakat sebagai petunjuk waktu kala itu, selain jam di gedung Balai Kota, di Jalan Balai Kota. Malangnya, jam yang menjadi kebanggaan gereja ini sudah tidak berfungsi lagi sejak 1980 sebab tak ada yang dapat memperbaiki.
 “Karena ini buatan zaman dulu, enggak ada yang bisa memperbaiki. Peralatan jam juga enggak ada di sini,” ujar Paul Endun yang akrab disapa Endun, salah seorang Majelis GPIB Immanuel.
Hal lain yang menarik adalah atap gereja. Terbuat dari kayu besi yang diambil dari hutan Kalimantan. Disusun sedemikian apik, hingga sekarang masih awet. Beranjak ke bagian dalam gereja, suasana khusyuk untuk ibadah kental terasa. Beberapa interior berbahan kayu masih dipertahankan. Seperti plafon melengkung yang setiap ujungnya dihiasi motif berwarna cerah. Sementara gantungan lampu pada plafon juga peninggalan Belanda berusia 90 tahun. Juga kursi jemaat, mimbar khotbah, dan kotak persembahan, semuanya masih difungsikan hingga sekarang.
 Sejak gereja ini dibangun, hanya beberapa perubahan yang dilakukan. Itu pun dalam kurun waktu yang lama. Tahun 1948, lantai yang dulunya terbuat dari papan diganti ubin karena mulai rapuh. Tahun 1961, diadakan renovasi dinding dan plafon karena sebagian rusak dimakan rayap. Terakhir, tahun 1992 dinding menara dan pintu depan diganti dengan keramik biru. “Karena ini cagar budaya, pemerintah tidak mengizinkan mengubah struktur gereja, jelas Endun.
Gereja ini hanya mampu menampung sekitar 300 jemaat. Sementara tiap tahun jemaat mulai bertambah. Karena bentuk bangunan tidak bisa diubah, dibangunlah sebuah sanggar di samping gereja. Menjadi alternatif jika kapasitas dalam gereja tidak mencukupi lagi. ”Ya, kalau ibadah di luar kurang tertib karena terganggu suara lalu lintas,” keluh Endun.

Jejak Historis Kolonial di Kota Medan
Sekitar tahun 1906, Belanda melakukan pengutusan sejumlah pendeta ke Indonesia. Hal ini dalam rangka pemenuhan salah satu semboyan mereka dalam menjajah yaitu Glory atau penyebaran agama.  Pengutusan ini ditanggungjawabi langsung oleh Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Selain penyebaran agama, juga untuk memelihara kerohanian para saudagar, pegawai, dan militer Belanda. Dari sanalah pembangunan gereja mulai gencar dilakukan hampir di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Medan.
21 Oktober 1921, dibangunlah sebuah gereja di atas lahan yang dulunya kebun tembakau. Saat itu Medan masih di bawah pengawasan pemerintahaan Hindia Belanda. Letaknya  strategis, di depan gedung pemerintahan Hindia Timur atau yang sekarang dikenal Kantor Gubernur Sumatera Utara.
Dinamailah gereja ini dengan Indische Kerk atau Staatskerk. Ia menjadi tempat peribadatan bagi komunitas Warga Negara Belanda  penganut Kristen Protestan. Dijelaskan Endun, saat itu kebanyakan yang beribadah di sini para pegawai Belanda yang berkantor di gedung pemerintahan dan mereka yang keturunan Belanda.
Sementara para pribumi, jarang ditemukan karena ibadah di gereja ini menggunakan Bahasa Belanda. “Hanya mereka yang mengerti bahasa Belanda yang gereja ke sini, ujar Ferdinand, salah seorang jemaat yang masih sempat menyicip beribadah ketika Belanda masih mengelola gereja.
Masa pelepasan Irian Barat, Belanda mulai hengkang dari Indonesia. Gereja sepenuhnya menjadi milik Pemerintah Kota (Pemko) Medan. Saat pendudukan Jepang gereja ini digunakan sebagai gudang perlengkapan bagi tentaranya. Jepang tak bertahan lama, gereja kembali ke tangan Pemko Medan dan fungsinya dikembalikan menjadi rumah peribadatan.
Hingga tahun 1959, Pemko Medan menyerahkan bagunan ini kepada Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB). Akhirnya, gereja ini pun beralih nama menjadi GPIB Immanuel sampai sekarang. Ia pun dijadikan cagar budaya, mengingat nilai historis yang dikandungnya.
Hanya saja Endun berharap pemerintah harusnya lebih perhatian dengan gereja ini. Pasalnya dalam beberapa kali perbaikan baik pengecatan, semua biaya dari jemaat gereja. “Pemerintah yang menjadikannya cagar budaya. Harusnya lebih diperhatikan, ujar Endun.

Tempat Pertemuan Lintas Suku
Seiring dengan berakhirnya masa penjajahan Belanda, satu persatu warga Belanda yang ada di Medan kembali ke asalnya. Mereka yang pada masa itu mendominasi jemaat gereja mulai berkurang. Tinggal keturunan campuran pribumi dan Belanda serta mereka yang berasal dari timur seperti Ambon, Nusa Tenggara, Maluku, dan Manado sebagai jemaat.
Endun yang asalnya dari Kupang bilang gereja ini sempat dijuluki ‘Gereja Ambon’ karena jemaatnya kebanyakan dari bagian Indonesia Timur. Ceritanya, keberadaan masyarakat dari timur dulunya dibawa Belanda untuk dipekerjakan di perkebunan dan pemerintahan. Hingga Belanda pergi, mereka tetap bertahan di Medan.
Namun sekarang, jemaat gereja berasal dari beragam suku. Ambon, Batak, Jawa, Nias, bahkan Cina menjadi satu. Berbeda dengan beberapa gereja di Medan yang biasanya di dominasi suku tertentu. “Jemaat yang menikah beda suku juga memilih menjadi jemaat gereja ini. Misalnya pernikahan antara Jawa dan Batak atau Ambon dan Batak,” tutur Endun.
Oma Eci, salah seorang jemaat yang berasal dari Ambon mengaku dengan keberagaman ini ia lebih mengenal budaya masing-masing dan saling menghargai setiap perbedaan. Bahkan tak jarang mereka saling tukar informasi tentang budaya masing-masing. “Ini satu-satunya gereja bermacam suku. Meski kita beda tapi  kita tetap satu oleh karena kasih,” ujar Oma.