Ali Usman, 71 tahun, lima kali mengadu sebagai korban kekerasan, dua kali dijadikan terdakwa. Saban hari, ia jualan tapai pakai sepeda dengan bawa keranjang bertuliskan “Ya Allah, Polisi Mafia, Iblis, Dajal, Bar-bar”.
Hujan menerpa kanopi parkiran Biro Rektor Universitas Sumatera
Utara. Sedikit berlari, seorang lelaki menggiring sepedanya menuju parkiran. Titik-titik
air menempel di kumisnya yang memutih dan plastik yang menutupi topinya. Ujung celana
pantalon coklatnya basah.
Kulit wajah dan tangannya yang kecoklatan mulai keriput.
Sama halnya dengan batik lusuh ia kenakan. Satu jengkal dari leher belakang
bajunya, ada lobang seukuran kelereng.
Di Stang sepeda,
kantong pelastik hitam tergantung. Isinya dua buah botol minum kosong dan beberapa
karung plastik. Kursi sepeda diikat dengan karet hitam. Di bagian belakang
sepeda, sebuah keranjang terbuat dari bambu terikat. Tempat tapai-tapai yang ia
jajakan.
Ada yang tidak biasa dengan keranjang jualan Ali. Kakek
berusia 71 tahun ini menambah tulisan terbuat dari styrofoam putih. Isi tulisannya
“Ya Allah, Polisi Mafia, Iblis, Dajal, Bar-bar”. Besar tulisan itu
kira-kira 70 cm x 100 cm.Tiap hari jualan, Ali bawa tulisan ini. Melintasi
jalan-jalan kota Medan. Bukan tanpa alasan
Ali melakukan ini. “Saya korban aparat”, ujar Ali mengganggukkan kepalanya.
Kejadiannya berawal di tahun 1987. Saat rumah Ali di jalan
Danau Poso, Binjai, kemaligan. Uang, beras, televisi, emas anak-anaknya raib
digasak maling. Saat kejadian ia sedang jualan tapai. Warga sekitar bilang,
pelakunya preman desa itu. Lantas Ali
melapor ke Arkayan, kepala desa. Namun tak kunjung digubris. Dua dari preman
desa itu, anak Arkayan.
Ali lapor lagi ke pihak berwajib. Beberapa media lokal
angkat kejadian ini. Beberapa hari setelah ia melapor dan kejadian tersebar di
media, tak disangka Arkayan mengantar Ali ke sel tahanan. Ali di tahan tiga
minggu. Alasannya karena Ali tidak melaksanakan ronda satu malam di desanya. Selama
ditahan ia dipukuli. Ali keluar dari tahanan berkat bantuan dari Lembaga
Bantuan Hukum (LBH).
Selepas dari tahanan, Ali minta bantuan kepada LBH yang
membebaskannya. Ia merasa sikap Arkayan semena-mena dan dinilai melindungi
pelaku. Namun LBH menolak karena mereka tak sanggup.
“Kami tidak bisa
berbuat apa-apa, maaf Pak,” ujar Ali menirukan salah seorang anggota LBH.
“Mereka takut, pak kades kan mantan
PM ( Polisi Militer-red)”, kata Ali.
Kemalangan lain Ali alami. Tak lama setelah kejadian itu,
ada yang sengaja bakar rumahnya. Setengah bagian rumahnya habis dilahap api.
Ali lapor ke polisi lagi, namun yang ada ia malah dijadikan terdakwa. Dikatakan
ia sengaja membakar rumahnya.
“Sejak saat itu saya tak percaya lagi sama polisi. Mereka harusnya
jadi wakil Tuhan, bukan wakil hantu. Mereka wakil hantu!. Saya tak tahu lapor
sama siapa lagi. Dengan tulisan seperti ini, perasaan saya sedikit terobati,
semua orang bisa tahu”.
Kasus Ali termasuk kasus yang pernah ditangani Komisi Untuk
Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Sumatera Utara. Dalam catatan
Kontras, kasus yang Ali alami tercatat sebagai kasus kekerasan yang dilakukan
aparat. Apa yang terjadi terhadap Ali
memberikan gambaran kalau polisi belum menempatkan diri sebagaimana mestinya.
Diah
Susilowati, Kepala Operasional KontraS Sumut mengatakan, apa yang terjadi
sekarang ini bahkan tidak sesuai lagi dengan amanat Undang-Undang nomor 2 tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam pasal 13 undang-undang tersebut tertulis,
sebagai pelayan dan pelindung rakyat, polisi harus menempatkan dirinya netral
di atas konflik yang dialami masyarakat. “Melihat Kasus Ali Usman, polisi belum
berpihak pada masyarakat biasa,” kata Diah (Kompas.com, 26 april 2007).
***
Sudah sepuluh tahun Ali memasang tulisan-tulisan itu.
Beberapa kali ia dicegat polisi, disuruh mencopot tulisan.
“Ambil itu tulisan,” ujar polisi.
“Saya tak akan ambil ini tulisan, terserah kamu mau tembak
kepala saya,” kata Ali sambil sembari mengeluarkan sebilah parang.
Tulisan saat pelatihan
narasi sama kak Moyang Kasih Dewi Merdeka, 5-6
juli 2012 di SUARA USU.