Pemerintah keukeuh
UU ini akan memberdayakan Ormas. Sejumlah Ormas menilai ini satu
langkah mundur dalam demokrasi. Lantas pentingkah UU Ormas dibuat?
Kurang
lebih dua bulan lalu, saya tahu Rancangan Undang-Undang Organisasi
Kemasyarakat (RUU Ormas) karena sedang hangat dibicarakan di media.
Beberapa organisasi di kampus ikut bergerak menyatakan ‘Tolak RUU
Ormas”. Karena tak begitu paham RUU ormas lantas saya tak begitu peduli.
“Ormas? Apa yang salah kalau Ormas diatur? Bagus dong, biar ormas
yang sweeping seenak jidat dan hobi anarkis bisa ditindak tegas. Apalagi
ormas yang taunya cuma ngincar APBN/APBD, tanpa sumbangsih yang jelas,” begitu saya pikir.
Hingga
2 Juli 2013 lalu, saat sejumlah Ormas masih menolak RUU ini, wakil
ketua DPR mengetok palu mengesahkan RUU Ormas jadi UU Ormas. Esok
harinya, UU Ormas jadi perbincangan di media cetak maupun elektronik.
Bahkan jadi headline. Isinya lebih banyak soal kekecewaan aktivis dan ormas. Juga media sosial tak ketinggalan berkicau. “DPR ini sebenarnya mewakili siapa sih?” kata sebuah komentar.
Kalau
merujuk sejarah istilah organisasi masyarakat sipil muncul sejak zaman
cicero (106-43SM). Lalu JJ Rosseau memahaminya sebagai jaminan atas hak
milik, kehidupan dan kebebasan anggotanya. Sejalan dengan lahirnya masa
pencerahan, maka sejumlah organisasi muncul mengkritisi kebijakan negara
(state) masa itu.
Di
indonesia, Paska kemerdekaan (1950-an) masyarakat sipil mengalami
kemajuan. Ia telah ikut mendorong terjadinya pembentukan sosial lewat
proses industrialisasi, urbanisasi dan pendidikan modern. Hasilnya,
munculnya kesadaran di kalangan kaum elit pribumi yang kemudian
mendorong terbentuknya organisasi-organisasi sosial modern di awal abad
ke-20. Pada saat itu, organisasi-organisasi sosial dan politik
dibiarkan tumbuh bebas dan memperoleh dukungan kuat dari warga
masyarakat yang baru saja merdeka.
Lalu dari sejarah itu apa yang bisa kita lihat? Watchdog.
Sejak awal, ormas menjadi bagian penting ber-demokrasi. Ormas hadir
mengawasi setiap kebijakan yang dibuat negara. Dari kata ‘mendorong
pembentukan sosial’, ada desakan yang mereka lalukan memengaruhi
kebijakan negara dan agenda publik. Tapi apakah itu cukup jadi alasan
kita merasa penting dengan Ormas? Lagian itukan dulu, beda konteks
dengan sekarang.
Dalam
demokrasi dibutuhkan saluran suara-suara publik untuk diartikulasikan
sebagai keputusan-keputusan politik. Maka posisi partai politik adalah
saluran politik itu. Justru sekarang, d itengah berkembangnya demokrasi
Indonesia menjadi demokrasi transaksional dan pragmatis, rasanya sulit
percaya pada pemerintah. Apa lagi partai politik. Kita tak bisa menampik
bahwa krisis kepercayaan terhadap partai dan pemerintah jadi alasan
lain pentingnya Ormas. Ormas jadi wadah yang menjembatani antara
kepentingan publik dengan negara.
Coba
kita lihat sejumlah kasus baik yang menyangkut hak asasi manusia,
lingkungan, konflik agraria, pendidikan, agama, kesejahteraan sosial,
dan lain sebagainya. Siapa yang lebih aktif dan nyata kerjanya?
Bukankah
sejumlah organisasi non-pemerintahan? Saat pemerintah masih berencana
membantu dan berurusan dengan masalah administrasi, ormas sudah turun
lebih dulu membuktikan kinerja. Saat pejabat negara kong kali kong
dengan perusahaan kertas membabat hutan, ormas yang bergerak melawan.
Saat perampasan tanah milik masyarakat, ormas juga yang ikut berjuang
bersama masyarakat. Kita tak bisa menutup mata soal itu. Sampai disini
saya mulai sepakat kalau ormas ini penting.
Lalu,
lahirlah UU Ormas. Pasal demi pasal menambah jumlah pasal yang dibuat
pemerintah. Secara garis besar Ormas diatur soal badan hukum, keuangan,
apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan hingga sanksi pembubaran.
Bahkan terkesan mengekang gerak Ormas.
Dalam
UU ini yang dimaksud adalah ormas sangat luas dan umum. Ormas adalah
organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela
berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan,
kegiatan, dan tujuan. Kewajiban semua ormas yang terdaftar dan tidak
terdaftar, mengikuti proses penyaringan melalui kementerian terkait
untuk mendapatkan izin dari pemerintah. Lantas apakah ibu-ibu arisan
harus ikut mendaftar? Toh mereka termasuk dalam ormas seperti yang
dimaksud dalam UU Ormas.
Dan
yang lebih aneh lagi, organisasi yang berafiliasi dengan partai politik
tak diatur dalam UU ini. Padahal sebenarnya merekalah yang perlu
diawasi. Organisasi underbow partai biasanya yang menyebarkan paham partainya dan tak jarang berlaku seperti preman.
Kemudian
di pasal 61 berisi banyak sekali larangan. Intinya segala tindakan yang
tidak sesuai dengan keinginan pemerintah dilarang. Salah satu butir
menarik soal melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kalaulah ada beberapa
organisasi yang tegas mengkritisi pemerintah, mengajak masyarakat
bergerak melawan kesewenang-wenangan pemerintah, organisasi ini bisa
dihabisi karena bisa dijerat pasal ini.
Kemudian
ormas dilarang “melakukan penyalahgunaan, penistaan, dan/atau penodaan
terhadap agama yang diakui di Indonesia”. Pasal ini akan sangat
subjektif menilai adanya “tindakan penodaan agama” terutama di tingkat
masyarakat. Dalam implementasinya dikhawatirkan akan membahayakan
kehidupan kebebasan untuk menganut dan menerima suatu agama atau
kepercayaanya, karena yang dapat melakukan pengawasan adalah masyarakat
dan pemerintah.
Larangan-larangan
ini menjadi sangat tidak jelas dan subyektif. Dalam implementasinya ke
depan, akan menjadi alasan menjatuhkan sanksi bagi ormas yang dianggap
membahayakan keutuhan dan keselamatan NKRI. Tentunya ini akan terkait
erat dengan pemerintahan yang berkuasa di masa yang akan datang. Ada
pasal-pasal yang membawa ancaman organisasi dibekukan bila dinilai,
secara sembarangan, melanggar UU Ormas.
Perjuangan
bangsa ini sampai pada pintu reformasi tak mudah. Banyak pengorbanan
baik harta dan nyawa. Salah satu pencapaian akan kita kenang dan
banggakan dari negara ini lepasnya dari sistem otoriter ke demokrasi.
Jangan sampai semua pencapaian ini sia-sia dan kembali ke rezim
otoriter.
Salah
satu hal yang dijamin dalam sistem demokrasi adalah adanya kebebasan
berkumpul, berserikat, berpendapat dan beragama di Indonesia. Konstitusi
negara ini bahkan menjaminnya dalam pasal 28 UUD 1945.
Kita
juga tak bisa menutup mata tentang ormas-ormas tak sehat. Ormas yang
mengandalkan kekerasan fisik dan berlaku semena-mena. Ormas semacam ini
yang jadi pemecah perdamaian dan persatuan yang terjalin harmonis dalam
ke-bhinekaan. Selama ini pemerintah seolah tak tegas dan tak berani
menindak mereka yang sudah mengarah pada perbuatan kriminal. Yang di
butuhkan dari pemerintah adalah sikap tegas. Bukan menciptakan UU Ormas
yang menurut saya, tidak penting.
Penulis
adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
USU 2010. Aktif sebagai Pemimpin Umum di Pers Mahasiswa SUARA USU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar