Jumat, 16 Agustus 2013

Sastra, Sebuah Pengabdian dan Tugas Kemanusiaan

Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya.  – John  F Kennedy

Ada pendapat mengatakan ber-sastra adalah kodrat ilahi yang ada pada manusia. Artinya siapapun  sebenarnya bisa menghasilkan karya sastra. Masalahnya akhir-akhir ini karya sastra lebih banyak menginduk pada keinginan kapitalis, bukan pada ibu kandungnya yaitu “kerja”.

Dalam buku ini, Nurani Soyomukti, seorang pekerja sosial-budaya menegaskan kembali esensi sastra itu. Dalam alam  terdapat realitas kehidupan berupa kontradiksi yang memunculkan pengetahuan, ide dan kreatifitas. Kontradiksi antar manusia terutama dalam hal kehidupan ekonomi, paling esensi diulas dalam karya sastra.

Kontradiksi harus dihadapi dan diselesaikan. Namun untuk mengetahui kontradiksi itu manusia harus berpikir lalu mencari strategi menyelesaikannya. Di sanalah hakikat kerja itu berperan, ada gerak fisik dan fikiran manusia untuk menghadapi dan merubah keadaan. Yang dianggap mampu menjangkau kontradiksi dalam masyarakat biasanya kaum intelektual dan sastrawan.

Namun belakangan, banyak sastrawan atau seniman yang justru mengeksploitasi realitas untuk diangkat dan menguntungkan dirinya sendiri, seolah menegaskan posisi inteleknya. Hanya bermain kata-kata baik dalam karya, tulisan, dan pembicaraan tanpa sampai pada analisis dan pengetahuan objektif.
 
Oleh WS Rendra, mereka dikatakan sebagai “seniman salon”  yang tidak mau menggugah kesadaran dan membangkitkan pergerakan mengontrol dan melawan penyimpangan. Hasil karya mereka berupa tulisan, buku, novel, film, sinetron tidak lebih dari proses dan kegiatan produksi ekonomis baik dari pengarang, penerbit, toko buku maupun masyarakat.

Buku misalnya, bukan hanya masalah penulisan tapi komoditi yang diproduksi penerbit dan dijual dipasaran untuk mencari keuntungan. Drama, adalah lahan bisnis yang mempekerjakan orang tertentu menghasilkan komoditas yang dikonsumsi penonton. Penulis, mereka para pekerja yang diupah oleh penerbit menghasilkan komoditi yang ingin dijual.

Karya mereka juga tak jauh-jauh dari penjualan kata cinta, eksploitasi perempuan yang secara tidak langsung sebagai “pelacur” yang dilegalkan, hedonisme, menjual mimpi dan komedi.  Masyarakat khususnya generasi muda diberi karya yang membuat mereka terlupa dengan realitas sosial. Yang ada, mereka dicekoki karya-karya  yang mengandung benih-benih pragmatisme, konsumerisme yang berujung pada pembodohan bangsa serta melanggengkan kapitalisme.
Inilah yang Nurani Soyomukti sampaikan melihat merebaknya karya-karya sastra kapitalis. Ia melahirkan buku penyadaran bahwa sastra adalah sebuah pengabdian dan tugas kemanusiaan. Bukan semata-mata sebagai kreativitas kosong dan ruang kosong. Tema-tema penting seperti kebohongan publik, persoalan korupsi, bahasa, sejarah, kontradiksi dalam realitas kehidupan harus menjadi hal dasar kerja-kerja kesenian.

Nurani menghadirkan karya pembanding yang menurutnya layak  dikatakan sebagai karya sastra.  Sebagai contoh karya Pramoedya Ananta Toer. Ia menggugah semangat pembaca dengan menceritakan lahirnya pencerahan dan kesadaran kelas tertindas membongkar penindasan di dalamnya. Dalam Bumi Manusia, ia mengangkat Minke yang awalnya berpaham feodal, kolot, dan bodoh menjadi manusia baru yang berwawasan luas, modern, dan mampu menjelaskan pada masyarakat penindasan fisik dan ideologi feodalisme dan kapitalisme-kolonialisme Belanda.

Kesadaran agar mampu menyingkap  lalu melawan penindasan adalah kesatuan pesan dari tulisan sastra Pram. Selain Pram, ada Marxim Gorky dalam novel Ibunda, WS Rendra dalam Sajak Sebatang Lisong, Puisi karya Widji Tukul, Novel karya Ayu Utami dalam Saman dan Larung.

Tak hanya novel, beberapa fim-film garapan sineas idealis mencoba mengangkat tema-tema dengan pesan moral yang menguak realitas kontradiktif dalam masyarakat dan mencoba mengajak penonton merenungkan keadaan yang perlu dirubah.

Film-film bertema realis seperti Mendadak Dangdut, Marsinah, Sendal Bolong untuk Hamdani, Mengejar Mas-Mas berusaha mengangkat tema humanis dan menguak bagaimana masyarakat kita masih didera berbagai masalah akibat sombongnya kekuasaan.

Juga film-film nasionalis seperti Naga Bonar Jadi 2, dan film-film yang berusaha mengangkat tema-tema tradisi seperti Pasir Berbisik dan Opera Jawa,  cukup menunjukkan tingkat estetik tanpa menyisakan kebodohan dalam masyarakat. Kebenaran-kebenaran seperti inilah yang harusnya diungkap melalui sastra.  
Dari semua penjelasan dan cara penulisan, penulis sepertinya cukup memberi perhatian pada aliran Marxisme. Bahasa yang digunakan lugas, serta sangat menentang kapitalisme dan menentang kelas-kelas dalam masyarakat.

Dalam buku ini, bentuk perlawanan diembuskan dengan bahasa yang menyala-nyala dan didukung data-data juga realitas yang terjadi. Sastra tak hanya permainan kata-kata semata, lebih dari itu.  Sastra berupa kata-kata bijak yang membangkitkan gerak melakukan perubahan. Itulah Sastra Perlawanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar