Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya. – John F Kennedy
Ada
pendapat mengatakan ber-sastra adalah kodrat ilahi yang ada pada
manusia. Artinya siapapun sebenarnya bisa menghasilkan karya sastra.
Masalahnya akhir-akhir ini karya sastra lebih banyak menginduk pada
keinginan kapitalis, bukan pada ibu kandungnya yaitu “kerja”.
Dalam
buku ini, Nurani Soyomukti, seorang pekerja sosial-budaya menegaskan
kembali esensi sastra itu. Dalam alam terdapat realitas kehidupan
berupa kontradiksi yang memunculkan pengetahuan, ide dan kreatifitas.
Kontradiksi antar manusia terutama dalam hal kehidupan ekonomi, paling
esensi diulas dalam karya sastra.
Kontradiksi
harus dihadapi dan diselesaikan. Namun untuk mengetahui kontradiksi itu
manusia harus berpikir lalu mencari strategi menyelesaikannya. Di
sanalah hakikat kerja itu berperan, ada gerak fisik dan fikiran manusia
untuk menghadapi dan merubah keadaan. Yang dianggap mampu menjangkau
kontradiksi dalam masyarakat biasanya kaum intelektual dan sastrawan.
Namun
belakangan, banyak sastrawan atau seniman yang justru mengeksploitasi
realitas untuk diangkat dan menguntungkan dirinya sendiri, seolah
menegaskan posisi inteleknya. Hanya bermain kata-kata baik dalam karya,
tulisan, dan pembicaraan tanpa sampai pada analisis dan pengetahuan
objektif.
Oleh
WS Rendra, mereka dikatakan sebagai “seniman salon” yang tidak mau
menggugah kesadaran dan membangkitkan pergerakan mengontrol dan melawan
penyimpangan. Hasil karya mereka berupa tulisan, buku, novel, film,
sinetron tidak lebih dari proses dan kegiatan produksi ekonomis baik
dari pengarang, penerbit, toko buku maupun masyarakat.
Buku
misalnya, bukan hanya masalah penulisan tapi komoditi yang diproduksi
penerbit dan dijual dipasaran untuk mencari keuntungan. Drama, adalah
lahan bisnis yang mempekerjakan orang tertentu menghasilkan komoditas
yang dikonsumsi penonton. Penulis, mereka para pekerja yang diupah oleh
penerbit menghasilkan komoditi yang ingin dijual.
Karya
mereka juga tak jauh-jauh dari penjualan kata cinta, eksploitasi
perempuan yang secara tidak langsung sebagai “pelacur” yang dilegalkan,
hedonisme, menjual mimpi dan komedi. Masyarakat khususnya generasi muda
diberi karya yang membuat mereka terlupa dengan realitas sosial. Yang
ada, mereka dicekoki karya-karya yang mengandung benih-benih
pragmatisme, konsumerisme yang berujung pada pembodohan bangsa serta
melanggengkan kapitalisme.
Inilah
yang Nurani Soyomukti sampaikan melihat merebaknya karya-karya sastra
kapitalis. Ia melahirkan buku penyadaran bahwa sastra adalah sebuah
pengabdian dan tugas kemanusiaan. Bukan semata-mata sebagai kreativitas
kosong dan ruang kosong. Tema-tema penting seperti kebohongan publik,
persoalan korupsi, bahasa, sejarah, kontradiksi dalam realitas kehidupan
harus menjadi hal dasar kerja-kerja kesenian.
Nurani
menghadirkan karya pembanding yang menurutnya layak dikatakan sebagai
karya sastra. Sebagai contoh karya Pramoedya Ananta Toer. Ia menggugah
semangat pembaca dengan menceritakan lahirnya pencerahan dan kesadaran
kelas tertindas membongkar penindasan di dalamnya. Dalam Bumi Manusia,
ia mengangkat Minke yang awalnya berpaham feodal, kolot, dan bodoh
menjadi manusia baru yang berwawasan luas, modern, dan mampu menjelaskan
pada masyarakat penindasan fisik dan ideologi feodalisme dan
kapitalisme-kolonialisme Belanda.
Kesadaran
agar mampu menyingkap lalu melawan penindasan adalah kesatuan pesan
dari tulisan sastra Pram. Selain Pram, ada Marxim Gorky dalam novel
Ibunda, WS Rendra dalam Sajak Sebatang Lisong, Puisi karya Widji Tukul,
Novel karya Ayu Utami dalam Saman dan Larung.
Tak
hanya novel, beberapa fim-film garapan sineas idealis mencoba
mengangkat tema-tema dengan pesan moral yang menguak realitas
kontradiktif dalam masyarakat dan mencoba mengajak penonton merenungkan
keadaan yang perlu dirubah.
Film-film
bertema realis seperti Mendadak Dangdut, Marsinah, Sendal Bolong untuk
Hamdani, Mengejar Mas-Mas berusaha mengangkat tema humanis dan menguak
bagaimana masyarakat kita masih didera berbagai masalah akibat
sombongnya kekuasaan.
Juga
film-film nasionalis seperti Naga Bonar Jadi 2, dan film-film yang
berusaha mengangkat tema-tema tradisi seperti Pasir Berbisik dan Opera
Jawa, cukup menunjukkan tingkat estetik tanpa menyisakan kebodohan
dalam masyarakat. Kebenaran-kebenaran seperti inilah yang harusnya
diungkap melalui sastra.
Dari
semua penjelasan dan cara penulisan, penulis sepertinya cukup memberi
perhatian pada aliran Marxisme. Bahasa yang digunakan lugas, serta
sangat menentang kapitalisme dan menentang kelas-kelas dalam masyarakat.
Dalam
buku ini, bentuk perlawanan diembuskan dengan bahasa yang menyala-nyala
dan didukung data-data juga realitas yang terjadi. Sastra tak hanya
permainan kata-kata semata, lebih dari itu. Sastra berupa kata-kata
bijak yang membangkitkan gerak melakukan perubahan. Itulah Sastra
Perlawanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar