Minggu, 13 Januari 2013

Dingin





Sebuah malam yang harusnya hangat, namun untuk kali ini terasa begitu dingin.



“Grrrr...grrrrr.....grrrrr.....!”

“Grrrr.....grrrr....grrrr...!”

Getar ponsel genggam saya makin sering terdengar saat ibadah malam pergantian tahun baru 2012 menuju 2013 di Gereja HKBP Balige memasuki bagian kotbah. Sebelum kotbahpun, getarannya sudah terdengar, lamat-lamat makin menjadi-jadi. Dengan alasan kekondusifan saya tak hiraukan. Hingga namboru saya yang duduk disamping kanan mendesak supaya saya angkat telponnya.

“Sudah, keluar saja sebentar. Angkat telponnya siapa tahu penting!”.

“Tidak usah namboru, mungkin itu temanku yang mau ucapin selamat tahun baru. Nanti saja saya telpon balik,” kataku . Hingga kotbah memasuki bagian akhir, ponsel tetap bergetar. Di pikiran saya paling itu telpon dari teman kuliah, teman seorganisasi atau teman lama yang di entah berantah ingin bernostalgia. “Apa tidak tahu jam segini biasanya ibadah malam tahun baru, mengganggu sekali orang ini,” keluhku dalam hati.

Akhirnya rasa penasaran sayapun tak terelakkan lagi. Meski ibadah belum usai, saya keluarkan ponsel dari tas dan mengecek. Di layar Nokia C2 milik saya tertulis 23 panggilan tidak terjawab. Ada dua nomor asing yang tidak tersimpan di ponsel. Tak tahu itu siapa, saya hiraukan. Tak ada pula pesan singkat yang masuk. Kalaupun itu penting, mungkin dia akan berusaha menjelaskan melalui pesan singkat.

Ibadah di Gereja pun berakhir. Semua jemaat tampak bersukacita sembari mengucap syukur atas sepanjang tahun yang tinggal menunggu menit sudah berlalu. Satu sama lain tampak bersalaman dan saling mengucap selamat. Saya pun larut sejenak dalam sukacita bersalaman dengan mama, namboru dan kerabat yang berkumpul di gereja.

Di jalan saat menuju rumah, ponsel saya kembali bergetar, sebuah pesan singkat masuk. Nomornya sama dengan nomor yang menelpon berulang-ulang. Isi pesan bilang kalau tulang, abang dari mama saya ternyata sudah meninggal dunia beberapa jam lalu. Mama yang disamping saya mendadak lemas. Saya dan namboru berusaha menopangnya hingga sampai di rumah. Raut wajahnya berubah seketika, pandangannya kosong dan seolah tak percaya.

Selama beberapa menit, mama hanya terdiam. Berlahan-lahan, air matanya menetes. Mengingat satu bulan yang lalu tulang masih segar datang ke rumah. Saat dua minggu lalu ia masih mengurus tulang yang tiba-tiba sakit. Tentu mama terpukul kehilangan laki-laki satu-satunya di keluarga. Rasa sakit itupun semakin menjadi saat kenyataan Tulang lebih dulu mendahului oppung.

Lama tulang sakit sekitar tiga minggu. Tiba-tiba perut tulang membesar dan tak bisa berjalan lagi. Sempat dibawa kerumah sakit di Panyabungan, Mandailing Natal, dokter mengatakan tulang mengalami saraf terjepit dan ginjal. Beberapa hari dirawat dirumah sakit, kondisinya pun membaik meski belum pulih total. Diputuskan tulang berobat jalan saja.

Namun keinginan hanyalah tinggal keinginan. Manusia berkehendak namun Tuhanlah yang memutuskan. Di malam tahun baru, saat semua orang bersukacita ingin mengakhiri tahun, saat semua orang menyusun rencana menjalani hidup yang baru, berkumpul bersama dengan keluarga, ia harus menjalani tahun baru terakhir sembari meregang nyawa.

Di tempat lain, seorang perempuan, adik terkecilnya tak henti menangis. Menangis karena kepergian yang tiba-tiba, menangis karena ditinggalkan untuk kesekian kalinya, menangis tidak bisa segera pulang melihat tubuh abangnya terbujur kaku, mengingat wanita 85 tahun yang terpukul kehilangan anak tertuanya.

Malam semakin larut, dinginnya udara mulai menusuk kulit. Semakin dingin dengan keadaan yang tidak seharusnya. Riuhnya suara kembang api, liputan susana tahun baru di seluruh dunia yang dipertontonkan stasiun tv, minuman dan kue-kue beraneka macam serta rasa seolah tak memberi pengaruh. Hingga lonceng gereja berbunyi, menandakan tahun sudah berganti. Semua terasa dingin.