Minggu, 09 Maret 2014

Stasiun Kereta Api Medan, Simbol Kejayaan Perdagangan Kota Medan

Oleh Debora Blandina Sinambela

Cikal bakal Medan sebagai kota Bisnis tak lepas dari pegaruh Tembakau Deli. Dibangunnya Stasiun Kereta Api Medan, menjadi pendukung Medan berkembang sebagai pusat perdagangan dan bisnis.

Rupanya Belanda mulai berfikir serius soal Tembakau Deli. Niat mengelolanya muncul dan terlihat jadi satu peluang bisnis menjanjikan. Pada tahun 1862 Belanda mengutus Jacob Nienhuys dengan sebuah visi uji coba potensi tembakau ini. Ia mendarat di Labuhan Deli.

Hanya butuh dua tahun, Tembakau Deli bekembang pesat. Dicap dengan mutu terbaik membuat tembakau ini punya pasar khusus ke mancanegara yaitu Bremen dan Amsterdam. Kota labuhan Deli pun ikut berkembang, menarik sejumlah investor dari mancanegara. Labuhan Deli menjadi pusat perdagangan dan pemerintahan.

Erond Damanik, sekretaris Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan mengatakan bahwa Jacob menyadari kelemahan Labuhan Deli dari segi geografis. Tak cocok dibangun jadi sebuah kota besar karena sempit dan sering banjir. “Lantas ia berfikir memindahkan pusat adminitrasi ke Medan,” ujarnya.

Tahun 1869, Deli Maatchhappij pindah ke Medan. Deli Maatchhappij pindah tepat di persimpangan antara sungai Babura dan Sungai Deli atau sekarang tepat di belakang gedung Capital Building di Jalan Tembakau Deli. Posisi gedungnya menghadap sungai karena sungai jadi salah satu jalur transportasi mengangkut hasil kebun ke Labuhan Deli untuk kemudian dikirim ke luar negeri.

Tahun 1872 Jacob kembali ke Belanda. Kemudian ia digantikan oleh J.T Cremer sebagai komisaris Deli Maatchhappij. Cremer lantas mengusulkan membangun rel kereta api kepada pemerintah Belanda. Tujuannya supaya tranportasi cepat dan tidak terganggu lumpur ketika musim hujan.

Ia mendapat ijin dari pemerintah Belanda. Ia juga minta ijin kepada sultan Maimoon Al Rasyid dan memberi imbalan kepada sultan berupa tembakau. 23 Januari 1883 pembangunan rel kereta api dimulai. Deli Spoorwerg Maatchhappij, perusahaan kereta api swasta milik Belanda menangani pembangunan.

Adapun Jalur kereta api pertama yang dibangun adalah Jalur Medan-Labuhan sepanjang 17 kilometer. Pembangunan ini memakan waktu dua tahun. Tahun 1885, satu jalur ini resmi digunakan. Dalam buku Medan beeld Van en Stad karangan M.A Loderich E.A, digambarkan bahawa Hotel de vink milik Belanda dijadikan stasiun pertama. Letaknya tepat dipusat kota Medan di depan lapangan Merdeka atau sekarang kita kenal dengan Stasiun Kereta Api Medan.

Pembangunan jalur rel kereta api kembali berlanjut mengikuti perkembangan pekebunan. Dibutuhkan jalurnya-jalur lain mengangkut hasil kebun memenuhi permintaan ekspor. Bahkan Jalur kereta pun dibangun di Helvetia, Pancur Batu, Polonia, hingga dolok Masihol perbatasan Simalungun untuk mengangkut hasil kebun seperti Tembakau, Karet, coklat, Kopi, sawit hingga pekerja perkebunan.

Pada akhirnya Labuhan tak cukup mampu menampung kapal-kapal besar yang singgah. Pelabuhan dialihkan ke Belawan. Jadilah Belawan sebagai pintu gerbang ekspor. Jalur lain dibangun dari labuhan Deli-Belawan. Bertambahnya jumlah jalur kereta api, jumlah stasiunpun ikut bertambah. Stasiun yang dimiliki pada masa itu yaitu stasiun Medan-Gloegoer-Poeloebraijan-Mabar-Titi Papan-Kampoeng Besar-Laboen-Belawan-Pasar Belawan-dan Pelabuhan Belawan.

Sejak dari tangan Belanda hingga ke pemerintah stasiun Kereta Api Medan berubah 80 persen. Hal yang tersisa dari stasiun lama adalah menara jam di bagian depan stasiun, dipo lokomotif yang masih berarsitektur Belanda, bagian atap peron yang menaungi jalur dua dan tiga serta jembatan gantung di ujung sebelah selatan.

Di samping bangunan stasiun terdapat monumen lokomotif uap bertipe 2-6-4T buatan Hartmann (kemudian bernama Sächsische Maschinenfabrik) di Chemnitz, Jerman tahun 1914. Saat ini, stasiun yang terletak pada ketinggian +22 m dpl ini merupakan pusat Divisi Regional 1 Sumatera Utara dan NAD, sehingga merupakan stasiun KA terbesar seantero DivRe. Setiap harinya melayani 2000-2500 penumpang ke seantero Sumatera Utara.





Tulisan ini telah dimuat di KOVER Magazine

Kamis, 06 Maret 2014

You Have the Way, Get and Walking on It....



Coba kita lihat apa yang kudapat hari ini?
Hahah….mungkin kau bosan aku selalu memulai segala sesuatunya dengan bertanya. Oke baiklah, kenapa aku bertanya karena aku ingin tahu. Ingin tahu banyak hal, segala sesuatunya yang ada aku ingin pertanyakan. Kenapa dunia ini seperti ini? Apa yang ada diotak tiap-tiap orang? Apa setiap orang itu baik dan tulus? Apa tujuan hidup ini?kenapa kita harus hidup? Cinta itu apa? Apa yang kurasakan sekarang?

Ada banyak-banyak pertanyaan yang muncul dan akan selalu muncul diotakku. Namun inti dari semuanya adalah aku ingin tahu. Jujur, setiap kali aku bertanya serasa ada seuatu yang ingin keluar dari dalam diriku. Ingin menunjukkan dan menyatakan bahwa ia ada. Ada sesuatu yang selama ini kupendam. Apakah aku memendam diriku selama ini, diriku yang sebenarnya. Siapakah aku?

Aku selalu merindukan yang namanya kedamaian. Merindukan cinta, kasih sayang, keindahan dan ketenangan. Ditengah hiruk-pikuk dunia sekarang, bisakah aku mendapatkannya? Aku dituntut untuk ikut mobile, jika ingin sukses tentunya. Tahu tidak apa yang dunia jadikan tolok ukur kesuksesan? Ya mobilitas. Bentar dia udah di Amerika, bentar lagi di Jepang, bentar lagi udah nongol di Papua, eh bentar lagi udah dirumah bersama anak dan keluarga. Itukah tolok ukur kesuksesan?atau itu hanya bentuk kesuksesan yang terbentuk diotakku. Entahlah…

Aku teringat sebuah cerita ketika aku renungan pagi. Ada dua orang anak mendaki gunung lollipop. Kalau gunung terbanyang akan banyak pohon, maka disini coba gantikan pohon, bunga rumput dengan lollipop. Aku harap kau tak terlalu susah membayangkannya, seperti kita di negeri dogeng ya. Oke, jadi si dua anak tadi berjalan menuju puncak bukit. Si anak yang satu mencapai puncak lebih dulu dengan tergesa-gesa. Keranjangnya penuh sekali, tapi di merasa begitu letih.

Si anak kedua, justru belum terlihat muncul dipuncak. Dia masih asyik mengumpulkan lollipop beraneka macam. Sembari ia mengumpulkan lollipop, ada seekor kupu-kupu muncul atau burung-burung kecil mengitarinya. Ia menyempatkan diri menari bersama mereka. Atau jika ia merasa lelah, ia beristirahat sebentar, memandang indah senja dari lereng bukit, atau menatap bulan dan bintang. Indah sekali. Semakin ia lihat semua, semakin dia bersyukur atas apa yang ia lihat dan rasakan. Lalu apa yang bisa kita ambil?

Menjadi manusia ambisius hanya meninggalkan rasa lelah. Tak bisa menikmati keindahan-keindahan kecil disekitar kita. Kita mungkin akan cepat mencapai puncak kesuksesan, memiliki semuanya. Tapi bahagiakah kita dengan itu? Apakah kita punya cerita indah yang akan kita ceritakan selain bagaimana cepatnya kita mencapai puncak itu? Menceritakan berapa banyak yg kita dapat? Itukah bahagia? Hidup untuk mengumpulkan dan setelah itu lelah?

Atau menjadi manusia yang menikmati setiap jalannya. Memang lambat sih, hasilnya tak langsung muncul tiba-tiba. Namun selama dalam perjalanan ada banyak cerita, ada banyak syukur dan ada banyak kenyataan yang membuka mata. Ada seyum, tawa, atau bahkan tangis. Kita menikmati itu bukan? Pada akhirnya selain mendapat hasil kita mendapat cerita dan jadi pelajaran hidup. Kita menggapai puncak dengan kepuasan ganda, kepuasan materi dan batin. Lantas kita mau jadi yang mana? Saya ingat apa kata “Coach” saya, hidup ini untuk bahagia. Pilihlah jalan yang membuatmu bahagia, You have the way. Get in and walking on it.