Jumat, 16 Agustus 2013

Pers Dalam Bayang-Bayang Kebebasan

“Jauh sebelum rezim Soekarno menghancurkan kebebasan pers di Indonesia, dunia pers Indonesia sendiri telah dijangkiti proses yang meniadakan makna kebebasan pers itu sendiri.” -Atmakusumah 
Astraatmadja
Kalimat di atas adalah gambaran kondisi pers di Indonesia dari zaman ke zaman yang ditulis oleh Atmakusumah Astraatmadja di salah satu buku karangannya. Pers yang dalam arti luas mencakup semua media komunikasi massa, dari awal kemunculannya selalu bermasalah dengan istilah kebebasan. Baik dari dalam media itu sendiri dan luar media.

Sebelum era Soekarno, sejumlah media dijadikan partai politik untuk alat perjuangan politik. Pers diarahkan sebagai media propaganda dengan tujuan memperoleh kekuaasaan. Sasarannya masyarakat luas. Kemudian mereka dicekoki ideologi dan paham-paham partai. Pers tak bisa berbuat banyak. Dan tinggal sedikit sekali pada akhirnya media yang berhasil memelihara kebebasannya.

Masa Soeharto pun tak jauh beda dengan masa Soekarno. Pers dibuat tak berdaya oleh pemerintah. Kalau ada media yang lantang bersuara dan menyinggung kepentingan pemerintah, media itu bisa dibredel. Aturan mendirikan media pun dipersulit dengan macam birokrasi.

Tahun 1998, lengsernya Soeharto melahirkan reformasi. Hasilnya, perbaikan sistem pemerintahan dari karakternya yang otoriter jadi lebih demokratis. Istilah pers bebas sebagai pilar ke empat demokrasi didengungkan. Media baru bermunculan. Ada yang bilang kemunculan media-media ini bak cendawan di musim hujan.

Pers mulai dilirik tak hanya sebagai media menyalurkan informasi, sarana pendidikan, kontrol sosial dan menghibur. Namun sebagai lahan bisnis yang menjanjikan. Kalau dulu pemilik media adalah wartawan dan pejuang, sekarang pemilik media tak jauh-jauh dari pengusaha yang orientasinya uang, hingga politikus yang orientasinya jabatan.

Pada kondisi ini, sebenarnya media di Indonesia sedang melalui sebuah proses. Dari media dengan kekuatan idealis pencari kebenaran yang selalu ditekan pemerintah menjadi industri otonom, diatur sedemikian rupa dan mementingkan diri sendiri.

Ditambah lagi dengan tak ada aturan jelas mengenai kepemilikan media. Siapa pun yang punya modal besar bisa membuat media sendiri atau membeli media lain yang kebetulan lagi bermasalah. Akhirnya terjadi koorporasi kepemilikan media. Satu orang bisa punya banyak media sekaligus. Pemusatan kepemilikan perusahaan media turut mengubah wajah kebebasan media dan kebutuhan informasi publik menjadi kebebasan menguasai pasar media.

Dalam teori ekonomi politik media, media dipandang sebagai perpanjangan tangan si pemilik media. Isi media akan selalu merefleksikan kepentingan mereka yang membiayai. Jadi bisa dibayangkan kalau media-media yang kita konsumsi setiap harinya dimiliki satu orang saja. Apa yang kita terima hanya sudut pandang dan otak satu orang saja.

Dari konten media yang disajikan kita bisa menilai apa kepentingan sipemilik media. Misalnya kalau media untuk tujuan komersial, isinya tak jauh-jauh dari hiburan belaka. Ambil satu contoh televisi. Program unggulan televisi-televisi ini adalah sinetron dan reality show yang bagi banyak orang memiliki kontribusi besar pada proses pembodohan massa. Acara-acara drama, sinetron, reality show dan gossip merupakan jualan utama. Tayangan-tayangan yang tak lebih sekadar menjual mimpi disajikan ketimbang persoalan kerakyatan.

Selain itu, media untuk tujuan politik. Media digunakan menyerang lawan politik dan sarana melakukan politik pencitraan. Misalnya kalau sipemilik media sedang melakukan orasi politik maka akan ditayangkan secara langsung meski mungkin pada saat yang bersamaan ada informasi lain yang lebih penting untuk diketahui masyarakat. Atau dalam menyajikan isu tertentu karena motif lain untuk keuntungan pribadi atau kelompok.

Di sini terlihat bagaimana korporasi media memiliki peran besar dalam menyaring apa yang boleh dan tidak boleh ditonton oleh masyarakat, apa yang baik dan tidak baik, serta bagaimana masyarakat harusnya bersikap.
Fenomena ini tak hanya dilihat sebagai fenomena bisnis, melainkan fenomena ekonomi politik yang melibatkan kekuasaan. Kepemilikan media, bukan hanya berurusan dengan persoalan produk, tetapi berkaitan dengan bagaimana kondisi sosial, citraan, berita, pesan dan kata-kata dikontrol dan disosialisasikan dalam masyarakat.

Akibat orientasi bisnis, tren baru media pun muncul. Tak hanya ingin menguasai pasar nasional, pasar daerah pun dilirik sebagai bentuk ekspansi bisnis. Media-media besar membuat media di daerah menjadi satu group dengan dalih supaya muatan-muatan daerah lebih tersorot. Dengan sistem ini, kemungkinan pembahasan muatan daerah memang besar supaya tak melulu media mengangkat isu seputar pulau Jawa saja.
Namun pada kenyataannya tak banyak isu lokal yang ditampilkan. Media-media lokal yang masuk dalam group justru harus mengikuti aturan pusat. Baik secara konten dan bentuk medianya sendiri. Kondisi ini tentu membatasi kreatifitas di daerah karena harus ikut pakem induknya. Lagi-lagi harus sesuai dengan kepentingan sang konglomerat.

Kalau dari luar, suasana media kelihatan demokratis. Namun dari pekerja media malah sebaliknya. Makin terbelunggu dan makin sempit ruang gerak organisasi bagi media, serikat pekerja, dan bagi individu yang bekerja sebagai SDM media. Gerak-gerik mereka dituntut supaya menyenangkan hati si pemilik media.
Para pekerja media yang mencoba memberontak dan mengkritisi kondisi ini justru menghadapi ancaman pemecatan. Kalau tak mau ikut arus, harus siap-siap dicampakan. Belakangan kisah pekerja media yang bermasalah dengan direksi juga semakin banyak.

Catatan kebebasan pers di Indonesia memang belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Dari masa ke masa, belenggu akan kebebasan itu datang silih berganti, lepas dari cengkraman buaya lalu masuk ke mulut singa. Istilah kebebasan seolah menjadi utopis.

Belakangan, bukan kebebasan yang tampak namun praktek pers otoriter yang sangat dikontrol si pemiliknya. Kebebasan pers dalam negara demokrasi tidak berjalan sesuai harapan. Pers yang semula disandingkan layaknya matahari yang menerangi sisi gelap berubah menjadi monster menakutkan yang mengubah segala sesuatunya menjadi abu-abu.

Ke depan, tantangan media tentu akan makin sulit. Media sarat kepentingan kemungkinan besar tumbuh makin 
banyak. Selama praktik-praktik kapitalis dalam media masih berlangsung, mustahil mengharapkan media bisa berubah. Media-media alternatif harus di dorong tumbuh supaya masyarakat punya pilihan lain. Mencerdaskan masyarakat juga menjadi tanggung jawab bersama supaya mampu memilah-milah mana informasi yang baik dikonsumsi.

Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU 2010. Aktif sebagai Pemimpin Umum di Pers Mahasiswa SUARA USU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar