Rabu, 05 Februari 2014

De Javu

   Debora Blandina Sinambela

                         "Semua jalan akan bertemu dan semua sungai akan mengalir ke laut yang sama"                                                                 (Paulo Coelho, Aleph)
                                            


Buih putihnya menggunung dalam gelas keramik putih. Yang membuatnya istimewa dan tak biasa bagiku adalah campuran kayu manis. Aroma kopi, susu dan kayu manis berpadu bak aroma bunga mekar saat musim semi. Begitu khsas, begitu segar. Lembut dan manis.

“Srupppppp………hmmm” .

Entah apa yang membuatku begitu begitu tergila-gila pada aromanya dan hanyut dalam rasanya. Aku menemukan sesuatu yang membuatku begitu bahagia. Seolah-olah aku pernah merasakannya. Aku termenung.

“Kenapa Ra, ada yang salah?”

“Rara…,Ra…!”

“Em, enggak Ben. Aku baik-baik saja. Hanya aku merasa seolah-olah pernah berada dalam situasi ini. Aku Merasa sangat bahagia dengan segala sesuatu yang tak asing bagiku. Tapi disatu sisi ada perasaan kehilangan dan kepedihan yang dalam. Aroma, rasa dan perasaan ini. Apa ini yang disebut de javu?”

“Aku tak ingin mengatakan bahwa aku orang yang paling paham soal de javu. Setiap orang pasti pernah mengalaminya dari waktu ke waktu. Namun ketika orang mengalami sensasi ini, kebanyakan langsung melupakannya karena mengganggap ini sesuatu hal yang tak masuk akal. De javu menunjukkan bahwa waktu tidak berlalu. De javu adalah lompatan menuju sesuatu yang sudah kita alami dan sekarang sedang terulang lagi.”

“Apa kita mengulang sesuatu yang pernah kita lakukan dulu?”

“Mungkin saja. Mungkin kau dan aku sudah pernah bertemu dikehidupan sebelumnya.”

Sejenak darahku mendesir mendengar ucapannya. Jantungku mendegup tak karuan. Otakku terkecoh dengan sesuatu hal yang dianggap konyol kebanyakan orang. Antara percaya atau tidak. Namun apapun itu, saat ini aku bersyukur Ben hadir di kehidupanku.

Aku bertemu dengannya saat menghadiri sebuah diskusi soal kekerasan terhadap perempuan di Pendopo kampus. Ada 30an mahasiswa dari beragam fakultas waktu itu dan ia jadi pemimpin diskusi. Dikalangan mahasiswa, ia dikenal sebagai pribadi yang lantang menyuarakan kepentingan masyarakat tertindas.

Ada semacam daya dalam dirinya yang menularkankan rasa semangat, optimisme dan idealisme. Dan itu adalah awal kedekatanku dengannya hingga sekarang. Hingga kami memutuskan menjalin hubungan lebih dari sekedar teman diskusi.

Aku tak akan bosan menghabiskan waktu seharian dengannya. Mendengar ceritanya soal politikus busuk, pejabat korup, kekerasan atas nama agama, masalah gender atau opininya soal negara Demokrasi. Atau ia akan cerita soal Socrates, Plato, Aristoteles.

Ia juga akan cerita soal masa Inquision di Spanyol abad ke 13. Atau soal perkumpulan rahasia di Eropa Priory of Sion yang baru ia baca dalam novel dari penulis favoritnya. Sebagai mahasiswa filsafat mungkin ia sudah terbiasa dengan itu, meski terkadang aku mual mendengarnya. Namun bagiku, segala yang ada padanya adalah magnet yang membuatku tak bisa jauh darinya.

“Ranisa, aku tak perlu perlu mengatakan aku percaya de javu untuk meyakinkanmu bahwa kau akan selalu bersamaku. Baik dulu, sekarang dan yang akan datang. Aku yakin kau akan selalu tetap disini,” ujar Ben memegang dadanya. Aku menatap kesungguhan dalam matanya. Mata elangnya memancarkan ketulusan dan kedalaman rasa. Aku yakin ini bukan rayuan gombal.

“Sekali lagi aku bersyukur karena Tuhan menciptakan mahluk sepertimu,” gumamku dalam hati.

***

Pagi-pagi sekali tiba-tiba Ben sudah berada di depan kamar kost, mengajakku keluar.

“Kita akan kemana Ben?”

“Tenanglah, tak usah khawatir. Aku ingin membawamu kesebuah tempat yang sudah lama aku ingin kita berada disana.”

“Apa yang ia akan lakukan terhadapku?kemana ia akan mengajakku? Apa yang harus kulakukan?” Pikiran-pikiran ini berkelabat di otakku.

Kebingunganku seketika bertambah saat tempat yang kami tuju adalah sebuah gereja. Jelas ini bukan hari minggu. Pengunjung gereja hanya lansia yang setiap pagi berdoa di sini. Gereja? Apa ia akan ingin menikah dengan ku hari ini? Aku memang mencintainya, tapi untuk menikah aku sungguh tak siap.Ben, kau sudah gila?

“Jangan berfikir macam-macam dulu,” ujar Ben seolah membaca pikiranku. Ia menuntunku masuk ke dalam gereja.

Bau dupa yang dibakar Pastor menyeruak memenuhi ruangan. Ben menyalakan lilin dan ia menyuruhku memegang satu. Cahaya lilin memantul kemataku dan Ben menunduk dihadapanku.

“Aku menghianatimu dengan meninggalkanmu, aku ingin kau mengampuni aku,”

“Menghianati ? Aku tak tahu bagaimana mengampunimu kalau aku tak tahu apa yang kau lakukan? Ini konyol Ben, aku tak tahu apa yang kau lakukan sekarang.”

“Percaya atau tidak, kau sudah ada dikehidupanku sejak dulu. Aku yakin dengan segala pertanda yang ada sebelum dan setelah kita bertemu. Sejak pertama kali aku menatap matamu. Ada kenangan yang mengingatkanku bahwa dulu aku menyakitimu dengan meninggalkanmu. Dalam setiap mimpi yang kualami dan kenangan yang terlintas dipikiranku. Aku tersiksa dengan penglihatan-penglihatan itu. Ingat bagaimana perasaanmu tadi malam. Sesuatu yang tidak kau ketahui namun ada dihatimu. Kalau perlu, pikirkanlah aroma favoritmu dan biarkan ia menuntunmu ke tempat yang perlu kau tuju.”

“Aku tidak tahu kenapa harus memaafkan pria yang kucintai. Aku tidak tahu bagaimana harus melakukannya. Aku memaafkan semua orang yang bersalah terhadapku. Aku memaafkanmu karena aku tidak tahu apa yang kau lakukan sekarang. Aku memaafkanmu karena terkadang aku mual mendengar ceritamu. Aku memaafkanmu untuk kesalahan yang belum kau lakukan. Apakah ini sudah sesuai dengan permintaanmu?

“Sesungguhnya yang kuinginkan adalah kau memaafkanku secara khusus. Aku sadar bahwa segala sesuatu terhubung, semua jalan bertemu dan semua sungai akan mengalir ke laut yang sama. Aku ingin membebaskan diri dari kebencian dengan cinta dan pengampunan.”

Aku ingin berlari meninggalkannya karena ketakutanku serta ketidakpahamnku. Berkali-kali ia menjelaskan alasannya namun aku masih tak paham. Kembali aku memandangnya matanya dan kembali aku menemukan kesungguhan dan kedalaman perasaan yang aku tidak mengerti.

“Aku memaafkan waktu ku yang habiskan untuk menunggumu,

Aku memaafkan ketidakmampuanmu memilih,

Aku memaafkan harapan-harapan palsu,

Aku memaafkan semua penghianatan,

Aku memaafkan kecemburuan ,

Aku memaafkan harapan-harapan yang mati sebelum waktunya,

Aku memaafkan untuk rasa sakit terhadap kehilangan,”

Aku membuka mataku dan melihatnya berlutut dihadapanku. Aku menuntunnya berdiri dan menggeggam tangannya. Meski aku tak mengerti namun ada rasa damai dalam diriku dan kurasa dalam dirinya juga.

***

Sepuluh tahun berlalu sejak hari ia membawaku ke gereja. Terakhir aku menggenggam tangannya saat ia pamit ke kampus bertemu dengan sekelompok mahasiswa yang sudah menunggunya. Mereka akan membahas strategi unjuk rasa besar meruntuhkan rezim reformasi yang amburadul.

Namun setelah aksi itu, sejumlah mahasiswa menghilang. Ada yang bilang mereka diculik suruhan pemerintah. Termasuk Ben. Sampai sekarang aku tak tahu kabarnya.

Aku tak perlu perlu mengatakan aku percaya De Javu untuk meyakinkanmu bahwa kau akan selalu bersamaku. Baik dulu, sekarang dan yang akan datang. Aku yakin kau akan selalu tetap disini.

Jika ia mampu datang dari masa lampau, maka aku yakin suatu saat dikehidupan yang akan datang ia akan kembali. Menemukanku dan meminta maaf atas rasa kehilangan ini. Aku yakin bahwa segala sesuatu terhubung, semua jalan akan bertemu dan semua sungai akan mengalir ke laut yang sama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar