Selasa, 30 April 2013

Desa Lingga Kini



Oleh Debora Blandina Sinambela

Sebuah desa, sebuah saksi peradaban yang luhur. Namun kini ia mulai terlupakan, perlahan-lahan di makan usia.


Angin pegunungan  berembus  menebarkan  bau kotoran sapi yang menusuk hidung. Nuansa perkampungan adat begitu kental. Bangunan tradisional karo seperti rumah adat, jambur, geriten, lesung dan sapo pege mengisi beberapa sudut desa. Tak jauh dari tempat saya berdiri, terdapat tulisan ‘Selamat Datang di Desa  Lingga’. Sebuah desa wisata yang letaknyaKabupaten Karo.



 Perhatian saya tertuju pada seseorang  di warung kopi yang berdinding kayu. Sehelai kain sarung lusuh berwarna coklat dengan motif kotak-kotak membungkus tubuh rentanya. Bersama seorang rekannya, mereka asyik bercengkrama dalam bahasa daerah. Menyadari kedatangan kami, dia menurunkan kaca mata tebal yang bertengger diwajahnya. Sorotan matanya menunjukkan segudang pertanyaaan.
Dia adalah Amanah Karo-karo, seorang veteran angkatan 45 berumur 87 tahun. Sempat menjadi kepala kampung Desa Lingga ditahun 1990-an. Dengan ramah, beliaupun bercerita banyak tentang Desa lingga dulu dan sekarang.

Sekitar 250 tahun silam, terdapat lima kerajaan yang tersebar di tanah karo. Mereka adalah Kerajaan Huta Bulung, Sari Nembah, Barus Jahe, Suka dan Sebayak Lingga. Siapa Sangka, ternyata  di antara kelima kerajaan ini  Sebayak Lingga atau kita kenal dengan Desa Lingga merupakan kerajaan terbesar dan pusat dari semua kerajan. Sebagai pusat kerajaan, Desa lingga memiliki kekayaan budaya dan adat istiadat untuk digali. Sehingga dijadikan sebagai Desa Wisata. “Desa ini Tempat untuk menggali kebudayaan karo,” katanya.

Seiring waktu berjalan, keadaan pariwisata Desa Lingga sudah jauh berkurang. Wisatawan yang datang tidak seperti  20 tahun silam, saat masa kejayaan Desa Lingga. Dulu  Hampir setiap hari dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara. Mereka akan disambut dengan tari-tarian karo. Namun sekarang  wisatawan yang datang hanya 2-3 kali dalam seminggu. “Wisatawan asing sudah enggan datang ke sini,” ujar Amanah.

Tarsek Ginting, pemandu wisata Desa Lingga menjelaskan beberapa faktor penyebab berkurangnya wisatawan yang datang karena berbagai hal. Salah satunya adalah jumlah rumah adat  berkurang sejak tahun 1980. Dulu Desa Lingga memiliki rumah adat sebanyak 28 buah, namun sekarang hanya tinggal lima buah saja. Dua diantaranya masih ditempati, namun selebihnya sudah mulai hancur. “Pemugaran tidak dilakukan karena ketiadaan biaya dan masyarakat tidak ada yang tahu  memperbaiki rumah adat’.
Tersek  mencoba mengingat masa lalu Desa Lingga yang sejak lama dikenal sebagai desa budaya. Menurutnya banyak orang datang kesini untuk belajar budaya Lingga, akan tetapi sekarang budaya Lingga sudah banyak yang hilang. “Dulu banyak orang belajar seni pahat, seni ukir maupun seni tari,” ujarnya. Dia juga menyesalkan banyaknya masyarakat desa Lingga sudah melupakan budayanya. “Mana tahu anak muda sekarang budaya desa Lingga,” keluhnya.

Hanya beberapa anak muda saja yang masih megetahui kebudayaan desa lingga, salah satunya Amsalta Ginting. Sore itu, bersama beberapa rekannya dia asyik menjalin satu persatu bambu untuk membuat keranjang. Kelak digunakan sebagai tempat hasil panen warga. Dia mengakui bahwa dulunya dia seorang penari karo. Setiap hari bersama beberapa muda-mudi desa menampilkan tari karo yang dipersembahkan kepada wisatwan. Biasanya mereka menari di jambur.

Namun sekarang dia hanya akan menari jika diminta pada saat acara tertentu saja. “Sudah jarang wisatawan yang datang. Selain itu  tidak ada lagi anak muda yang mau membawakan tarian karo,” jelasnya.
Iwan, salah seorang dari Kementrian Budaya dan Pariwisata (Kemenbudpar) yang sedang mengadakan survei di Desa Lingga turut prihatin melihat kondisi tempat tersebut. Kepedulian masyarakat dinilai sebagai hal penting. “Mereka harus disadarkan bahwa desa mereka memiliki potensi besar sebagai desa wisata. Mengingat tren wisata  sekarang sudah beralih ke desa wisata,” paparnya.

Iwan juga menambahkan untuk menjadi sebuah desa wisata, diperlukan daya tarik melalui aktivitas masyarakatnya. Apalagi bisa berinteraksi dan ikut belajar seperti tari-tarian, kerajinan dan musik. Selain itu menarik wisatawan tidak  melalui hal-hal mewah saja, wisatawan  akan senang kalau tempatnya bersih.



 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar