Sebuah
desa, sebuah saksi peradaban yang luhur. Namun kini ia mulai terlupakan,
perlahan-lahan di makan usia.
Angin pegunungan berembus menebarkan
bau kotoran sapi yang menusuk hidung. Nuansa perkampungan adat begitu
kental. Bangunan tradisional karo seperti rumah adat, jambur, geriten, lesung dan
sapo pege mengisi beberapa sudut desa. Tak jauh dari tempat saya berdiri,
terdapat tulisan ‘Selamat Datang di Desa
Lingga’. Sebuah desa wisata yang letaknyaKabupaten Karo.
Perhatian saya tertuju pada seseorang di warung kopi yang berdinding kayu. Sehelai
kain sarung lusuh berwarna coklat dengan motif kotak-kotak membungkus tubuh
rentanya. Bersama seorang rekannya, mereka asyik bercengkrama dalam bahasa
daerah. Menyadari kedatangan kami, dia menurunkan kaca mata tebal yang
bertengger diwajahnya. Sorotan matanya menunjukkan segudang pertanyaaan.
Dia adalah Amanah Karo-karo, seorang veteran angkatan 45 berumur
87 tahun. Sempat menjadi kepala kampung Desa Lingga ditahun 1990-an. Dengan
ramah, beliaupun bercerita banyak tentang Desa lingga dulu dan sekarang.
Sekitar 250 tahun silam, terdapat lima kerajaan yang tersebar di
tanah karo. Mereka adalah Kerajaan Huta Bulung, Sari Nembah, Barus Jahe, Suka
dan Sebayak Lingga. Siapa Sangka, ternyata di antara kelima kerajaan ini Sebayak Lingga atau kita kenal dengan Desa
Lingga merupakan kerajaan terbesar dan pusat dari semua kerajan. Sebagai pusat
kerajaan, Desa lingga memiliki kekayaan budaya dan adat istiadat untuk digali. Sehingga
dijadikan sebagai Desa Wisata. “Desa ini Tempat untuk menggali kebudayaan karo,”
katanya.
Seiring waktu berjalan, keadaan pariwisata Desa Lingga sudah jauh
berkurang. Wisatawan yang datang tidak seperti 20 tahun silam, saat masa kejayaan Desa Lingga.
Dulu Hampir setiap hari dikunjungi
wisatawan lokal maupun mancanegara. Mereka akan disambut dengan tari-tarian
karo. Namun sekarang wisatawan yang
datang hanya 2-3 kali dalam seminggu. “Wisatawan asing sudah enggan datang ke
sini,” ujar Amanah.
Tarsek Ginting, pemandu wisata Desa Lingga menjelaskan beberapa
faktor penyebab berkurangnya wisatawan yang datang karena berbagai hal. Salah
satunya adalah jumlah rumah adat
berkurang sejak tahun 1980. Dulu Desa Lingga memiliki rumah adat
sebanyak 28 buah, namun sekarang hanya tinggal lima buah saja. Dua diantaranya
masih ditempati, namun selebihnya sudah mulai hancur. “Pemugaran tidak
dilakukan karena ketiadaan biaya dan masyarakat tidak ada yang tahu memperbaiki rumah adat’.

Hanya beberapa anak muda saja yang masih megetahui
kebudayaan desa lingga, salah satunya Amsalta Ginting. Sore itu, bersama
beberapa rekannya dia asyik menjalin satu persatu bambu untuk membuat
keranjang. Kelak digunakan sebagai tempat hasil panen warga. Dia mengakui bahwa
dulunya dia seorang penari karo. Setiap hari bersama beberapa muda-mudi desa
menampilkan tari karo yang dipersembahkan kepada wisatwan. Biasanya mereka
menari di jambur.
Namun sekarang dia hanya akan menari jika diminta pada saat
acara tertentu saja. “Sudah jarang wisatawan yang datang. Selain itu tidak ada lagi anak muda yang mau membawakan
tarian karo,” jelasnya.
Iwan, salah seorang dari Kementrian Budaya dan Pariwisata
(Kemenbudpar) yang sedang mengadakan survei di Desa Lingga turut prihatin
melihat kondisi tempat tersebut. Kepedulian masyarakat dinilai sebagai hal
penting. “Mereka harus disadarkan bahwa desa mereka memiliki potensi besar
sebagai desa wisata. Mengingat tren wisata sekarang sudah beralih ke desa wisata,”
paparnya.
Iwan juga menambahkan untuk menjadi sebuah desa wisata,
diperlukan daya tarik melalui aktivitas masyarakatnya. Apalagi bisa
berinteraksi dan ikut belajar seperti tari-tarian, kerajinan dan musik. Selain
itu menarik wisatawan tidak melalui
hal-hal mewah saja, wisatawan akan
senang kalau tempatnya bersih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar