Selasa, 30 April 2013

Tentang Pulau dan Nakhoda




Oleh Debora Blandina Sinambela

Guratan-guratan ini tak pernah habis
Mengisi setiap relung dan lembar-lembar putih
Biarlah mereka terabadikan
Dalam simbol dan lambang bermakna
Setidaknya menyatakan mereka ada dan terasa
Dalam kesunyian dan keheningan

Ya, mereka memang ada, terasa
Ada yang merasakannya, menikmati dan membiarkannya tumbuh
Kubiarkan dia tumbuh diantara haluan yang mendua
Sang nakhoda tak tahu, tepatnya tak bisa memilih
Jangkar sudah diturunkan, namun layar masih terkembang

Sementara senja sudah tiba
Jingga matahari menyiram indah sebuah pulau
Pantai yang bersih, pulau yang masih kosong
Ditambah burung dan pelangi menghias langit diatas pulau

Ada yang bergumam dalam hati
Sungguh, pulau ini salah satu Anugerah Tuhan terindah
Tuhan?
Apakah kau percaya Tuhan?
Apakah Tuhan ciptakan pulau untuk disinggahi setiap kapal?
Akupun tak tahu pasti
Yang pasti, kapal selalu mencari tempat berlabuh
Pasir putih di pantai terlalu menyimpan  misteri bagi nakhoda
Tentu ia ingin berlari, bermain, dan berpijak di pantai

Langit di timur mulai gelap
Senja segera berakhir
Segerombol elang melintas, hendak pulang
Nakhoda beri tanda ingin berlabuh, pelan-pelan rapatkan badan kapal

Angin sore itu rupanya kencang
Ia tak bisa kendalikan kapal
Hatinya hendak berlabuh namun angin tetap menghadang
Menghembuskan layar yang masih terkembang
Jangkar tak banyak membantu
Sebab jangkar masih terbenam di pulau lain

Esok memang segera tiba, menelan sisa kabut dan gelap
Namun dalam gelap malam apapun bisa terjadi
Pemandangan hari ini dan esok bisa saja tak sama lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar