Oleh: Debora
Blandina Sinambela
Sebuah saksi bisu perjalanan Kota Medan sejak zaman
penjajahan. Kini, ia telah berstatus cagar budaya dan menjadi tempat ibadah
yang dikunjungi berbagai etnik.
Puncak menaranya berbentuk kubah,
ciri khas bangunan peninggalan Belanda. Di dalamnya terdapat sebuah
lonceng besi setinggi hampir dua meter buatan tahun 1922. Menara itu juga dihiasi empat jam
dinding menghadap ke empat arah yang berbeda.
Untuk
mencapai puncak menara, Sekitar 40 buah anak tangga harus kita daki. Lebar tangga
hanya seukuran badan. Menjejali anak
tangga satu persatu, sesekali bunyi krak terdengar dari tangga. Menoleh ke kiri dari anak tangga ke 20, kita
bisa melihat sebuah mesin jam bentuk kotak ukuran 2x1 meter. Ditengah minimnya
sumber cahaya, sebuah lampu neon buat
detail mesin ini terlihat jelas.
Dulu,
saat jam dinding ini masih berfungsi, bila jarum di keempat jam berada
tepat di angka dua belas, bandul pada lonceng akan berdentang secara otomatis.
Memecah keheningan Medan hingga tiga kilometer jauhnya. Jam dan suara lonceng
gereja inilah yang digunakan masyarakat sebagai petunjuk waktu kala itu, selain
jam di gedung Balai Kota, di Jalan Balai Kota. Malangnya, jam yang menjadi kebanggaan gereja ini sudah tidak berfungsi
lagi sejak 1980 sebab tak ada yang dapat memperbaiki.
“Karena ini buatan zaman dulu, enggak ada yang bisa memperbaiki.
Peralatan jam juga enggak
ada di sini,” ujar Paul Endun yang akrab disapa Endun, salah seorang Majelis GPIB
Immanuel.
Hal
lain yang menarik adalah atap gereja. Terbuat dari kayu besi yang diambil dari hutan Kalimantan. Disusun sedemikian apik,
hingga sekarang masih awet. Beranjak ke bagian dalam gereja, suasana khusyuk
untuk ibadah kental terasa. Beberapa interior berbahan kayu masih dipertahankan.
Seperti plafon melengkung yang setiap ujungnya dihiasi motif berwarna cerah. Sementara gantungan lampu pada plafon juga peninggalan Belanda berusia 90 tahun. Juga kursi jemaat, mimbar khotbah, dan kotak persembahan, semuanya masih difungsikan hingga
sekarang.
Sejak gereja ini dibangun, hanya beberapa perubahan yang dilakukan.
Itu pun dalam kurun waktu yang lama. Tahun 1948, lantai yang dulunya terbuat dari papan diganti ubin
karena mulai rapuh. Tahun
1961, diadakan renovasi dinding dan plafon karena sebagian rusak dimakan rayap.
Terakhir, tahun 1992 dinding menara dan pintu depan diganti dengan keramik
biru. “Karena ini cagar budaya, pemerintah tidak mengizinkan mengubah struktur gereja,” jelas Endun.
Gereja
ini hanya mampu menampung sekitar 300 jemaat. Sementara tiap tahun jemaat mulai bertambah. Karena
bentuk bangunan tidak bisa diubah, dibangunlah sebuah sanggar di samping gereja. Menjadi alternatif jika kapasitas dalam gereja tidak mencukupi lagi. ”Ya, kalau ibadah di luar kurang tertib karena terganggu
suara lalu lintas,”
keluh Endun.
Jejak
Historis Kolonial di Kota Medan
Sekitar tahun 1906, Belanda melakukan pengutusan
sejumlah pendeta ke Indonesia. Hal
ini dalam rangka pemenuhan salah satu semboyan mereka dalam menjajah yaitu Glory atau penyebaran agama. Pengutusan ini
ditanggungjawabi langsung oleh Vereenigde Oost Indische
Compagnie (VOC). Selain penyebaran agama, juga untuk memelihara kerohanian para
saudagar, pegawai,
dan militer Belanda. Dari sanalah
pembangunan gereja mulai gencar dilakukan hampir di seluruh wilayah Indonesia,
termasuk Medan.
21
Oktober 1921,
dibangunlah
sebuah gereja di atas lahan yang dulunya kebun
tembakau. Saat itu Medan masih di bawah pengawasan pemerintahaan Hindia Belanda.
Letaknya strategis, di depan gedung
pemerintahan Hindia Timur atau yang sekarang dikenal Kantor Gubernur Sumatera Utara.
Dinamailah gereja ini dengan Indische Kerk atau Staatskerk.
Ia menjadi
tempat peribadatan bagi komunitas Warga Negara Belanda penganut Kristen Protestan. Dijelaskan
Endun,
saat itu kebanyakan yang beribadah di sini para pegawai Belanda yang
berkantor di gedung pemerintahan dan mereka yang keturunan Belanda.
Sementara
para pribumi, jarang ditemukan karena ibadah di gereja ini menggunakan Bahasa Belanda. “Hanya mereka yang
mengerti bahasa Belanda yang gereja ke sini,” ujar Ferdinand, salah seorang jemaat yang masih sempat menyicip beribadah ketika Belanda masih mengelola
gereja.
Masa
pelepasan Irian Barat, Belanda mulai
hengkang dari
Indonesia. Gereja sepenuhnya menjadi milik Pemerintah Kota (Pemko) Medan. Saat pendudukan Jepang gereja ini digunakan sebagai gudang
perlengkapan bagi tentaranya. Jepang tak bertahan lama, gereja kembali ke tangan Pemko Medan dan fungsinya dikembalikan menjadi rumah peribadatan.
Hingga tahun 1959, Pemko Medan menyerahkan bagunan ini kepada Gereja
Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB). Akhirnya, gereja ini pun beralih
nama menjadi GPIB Immanuel sampai sekarang. Ia pun
dijadikan cagar budaya, mengingat nilai historis yang dikandungnya.
Hanya
saja Endun berharap pemerintah harusnya lebih perhatian dengan gereja ini.
Pasalnya dalam beberapa kali perbaikan baik pengecatan, semua biaya dari jemaat
gereja. “Pemerintah yang menjadikannya cagar budaya. Harusnya lebih
diperhatikan,”
ujar Endun.
Tempat
Pertemuan Lintas Suku
Seiring dengan berakhirnya masa penjajahan Belanda,
satu persatu warga Belanda yang ada di
Medan kembali ke asalnya. Mereka yang pada masa itu
mendominasi jemaat gereja mulai berkurang. Tinggal keturunan campuran pribumi dan Belanda serta mereka yang berasal dari timur seperti Ambon, Nusa Tenggara,
Maluku,
dan Manado sebagai jemaat.
Endun
yang asalnya dari Kupang bilang gereja ini sempat
dijuluki ‘Gereja Ambon’ karena jemaatnya kebanyakan dari bagian Indonesia Timur.
Ceritanya, keberadaan masyarakat dari timur dulunya dibawa Belanda untuk
dipekerjakan di perkebunan dan pemerintahan. Hingga Belanda pergi, mereka tetap
bertahan di Medan.
Namun
sekarang, jemaat gereja berasal dari beragam suku. Ambon, Batak, Jawa, Nias,
bahkan Cina menjadi satu. Berbeda dengan beberapa gereja di Medan yang biasanya
di dominasi suku tertentu. “Jemaat yang menikah beda suku juga memilih menjadi
jemaat gereja ini. Misalnya
pernikahan antara Jawa
dan Batak
atau Ambon dan Batak,” tutur Endun.
Oma
Eci, salah seorang jemaat yang
berasal dari Ambon mengaku dengan keberagaman ini ia lebih mengenal budaya
masing-masing dan saling menghargai setiap perbedaan. Bahkan tak jarang mereka
saling tukar informasi tentang budaya masing-masing. “Ini satu-satunya gereja
bermacam suku. Meski kita beda tapi kita
tetap satu oleh karena kasih,” ujar Oma.